tag:blogger.com,1999:blog-16328255016383951572024-02-19T08:53:01.444-08:00Kumpulan OpiniPhaul Hegerhttp://www.blogger.com/profile/11849891513433886497noreply@blogger.comBlogger103125tag:blogger.com,1999:blog-1632825501638395157.post-58185408232191529522023-05-27T17:01:00.003-07:002023-05-27T17:03:51.194-07:00Al Makin: Tepis Politik Identitas<div>BOLEH dikatakan mengejutkan, boleh juga dikatakan, itu sudah diantisipasi sebelumnya. Itu tidak mengejutkan sama sekali. Tetap saja konsekwensinya mengembirakan dan akibatnya positif bagi umat. Berita baik tentu saja.</div><div><br /></div><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgcx8twh9ouuZEJhYsN_i5n1qYLcbPrzdcMvpUPpKRc39YpPCblipHPC409DZ1Pm_RAAjr9mGwnIQ-oR42Mc27hSyPGQZmT_B2Ck34X2icbSzLWRoMhG9zDjSV9nYEDLrYWNCmS58bHdlSopr0pqz-AVvHbzC-lggtTxccZRQx1tX2ZMDbWUObrp-uyuA/s732/Al%20Makin%20Rektor%20UIN%20Sunan%20Kalijaga%20Yogyakarta.jpg" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="488" data-original-width="732" height="313" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgcx8twh9ouuZEJhYsN_i5n1qYLcbPrzdcMvpUPpKRc39YpPCblipHPC409DZ1Pm_RAAjr9mGwnIQ-oR42Mc27hSyPGQZmT_B2Ck34X2icbSzLWRoMhG9zDjSV9nYEDLrYWNCmS58bHdlSopr0pqz-AVvHbzC-lggtTxccZRQx1tX2ZMDbWUObrp-uyuA/w470-h313/Al%20Makin%20Rektor%20UIN%20Sunan%20Kalijaga%20Yogyakarta.jpg" width="470" /></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Al Makin, Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Foto/Dok. Pribadi</td></tr></tbody></table><br /><div>Ketua Umum Muhammadiyah Prof. Dr. KH. Haedar Nashir dan rombongan mengunjungi kantor PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) pada tanggal 25 Mei 2023. Dan tentu saja disambut Ketua Umum PBNU Dr. KH Cholil Yahya Staquf dan teamnya.</div><div><br /></div><div>Kunjungan ini tidak mengejutkan karena tahun lalu, karena Gus Yahya sudah bersilaturahmi ke kantor Muhammadiyah tahun lalu. Beliau sudah sering sampaikan secara eksplisit dalam bebera kesempatan bahwa NU dan Muhammadiyah harus membangun kerjasama sinergis.</div><div><br /></div><div>Bahkan dalam salah satu posting Instagramnya dengan bercanda mengatakan saat lebaran Idulfitri yang berbeda bulan lalu, NU dan Muhammadiyah bisa berbeda dalam merayakan lebaran Idulfitri tahun ini, tetapi keduanya sepakat tentang hari Kartini, tetap hari Jumat, tanggal 21 April. Ini bukan bercanda biasa, ini adalah sindiran simbolik.</div><div><br /></div><div>Ya sudahlah keputusan bisa berbeda, tetapi keduanya tidak bisa saling meningkari keputusan masing-masing. Berbeda tetap saling menghormati, persaudaraan tetap ada dan terjalin.</div><div><br /></div><div>Ketua Umum Muhammadiyah yang penampilannya kalem dan tenang dalam setiap pidatonya juga sering mengungkapkan hal yang senada. Meskipun kritis pada tindakan-tindakan umat dan yang memanfaatkan identitas umat, terutama dalam ranah politik, beliau tetap yakin ada jalan keluar bersama-sama.</div><div><br /></div><div>Pada acara Syawalan di UIN Sunan Kalijaga misalnya, pada tanggal 8 Mei 2023, beliau menyampaikan nada optimismenya pada usaha-usaha yang dilakukan kampus UIN Sunan Kalijaga dengan mengadakan syawalan antar umat. Syawalan di UIN Sunan Kalijaga dalam tiga tahun terakhir selalu mengundang pemimpin dari agama-agama yang berbeda: Katolik, Kristen, Buddha, Hindu, Konghucu dan iman lain. Ini merupakan usaha yang baik dan harus selalu konsisten.</div><div><br /></div><div>Ketua Umum PBNU dalam kesempatan terakhir di AICIS (Annual Conference on Islamic Studies) Kementerian Agama di Surabaya menegaskan auto-kritik yang sangat mendasar dan berani. Dalam pidatonya dalam bahasa Inggris, tanggal 3 Mei 2023, mengakui bahwa Islam, atau umat Islam tepatnya harus jujur bahwa praktik keagamaan kita memang mempunyai masalah.</div><div><br /></div><div>Islam bermasalah? Bukan. Maksudnya, praktik keislaman, yaitu bagaimana kita memahami Islam dan menjalankannya bisa bermasalah. Jika salah kutip, bisa menjadi viral.</div><div><br /></div><div>Untungnya pidatonya dalam bahasa Inggris, jadi mungkin hanya sedikit yang perhatian. Penulis duduk di kursi terdepan dan betul-betul mendengarkan dengan seksama, sebagaimana pidato-pidatonya yang lain dalam kesempatan yang lain pula.</div><div><br /></div><div>Masalah keislaman tadi ditimbulkan dari segi pemahaman teologi (kalam), atau dalam bahasa Gus Yahya adalah fikih (yaitu pemahaman agama yang mendalam). Fikih peradaban, istilah Gus Yahya, yang sering dibicarakan di berbagai kesempatan, baik forum pesantren maupun kampus, menegaskan pentingnya mengolah kembali fiqh konvensional.</div><div><br /></div><div>Fikih bukan hanya bermakna ibadah ritual, tetapi bagaimana kita memahami gerak dan langkah manusia dalam membangun peradaban. Peradaban yang saling memahami, saling mengakui keberadaan satu sama lain, dan saling merangkul.</div><div><br /></div><div>Praktik saling mengunjungi pemimpin umat pada kantor pemimpin umat yang lain tentu secara langsung telah menepis dan menghalangi penggunaan identitas agama dalam ranah politik secara berlebihan, atau lebih sering disebut politik identitas. Kita tidak bisa hanya berceramah atau menulis tentang bahayanya politik identitas. Itu tidak cukup.</div><div><br /></div><div>Kita harus bertindak dan menunjukkan contoh apa yang menjadi lawan politik identitas. Yaitu, kita harus melakukan tindakan yang berbeda dengan politik identitas.</div><div><br /></div><div>Identitas yang berbeda bukanlah penghalang persaudaraan dan persahabatan. Jelas, NU dan Muhammadiyah mempunyai sistem tersendiri, kiprah yang unik dan berbeda di tengah umat, sumbangan yang khas dari masing-masing organisasi, potensi yang tidak sama dalam menyumbangkan pembangunan bangsa, keduanya tidak perlu dibenturkan. Justru keduanya terus bersinergi.</div><div><br /></div><div>Seperti yang dilakukan oleh ketua umum kedua organisasi ini. Umat tidak selalu membutuhkan ceramah dan nasehat. Umat ingin melihat contoh dan teladan. Keduanya adalah teladan terbaik yang kita punya. Keduanya berjumpa dan saling mengunjungi. Betapa anggunnya itu.</div><div><br /></div><div>Politik identitas dilakukan dengan enteng dan murah untuk tujuan politik. Akibatnya adalah naiknya tensi sosial, yang bisa mengakibatkan panasnya suasana. Saling mencurigai, saling menuduh, dan saling menyerang baik dengan cara luring dan daring.</div><div><br /></div><div>Dalam media sosial dan perbincangan darat, kita sudah kenyang dengan saling berguncing satu sama lain. Membicarakan aib dan kelemahan golongan lain memang jauh lebih mudah daripada menghitung dan menimbang kesalahan golongan sendiri.</div><div><br /></div><div>Gus Yahya secara terang-terangan mengatakan bahwa kita bermasalah. Keislaman kita bermasalah. Kita sering menajamkan identitas kita. Siapa saya dan siapa Anda, siapa kami dan siapa kalian, asal Anda dari mana, kelompok kalian mana? Semua itu adalah ungkapan sederhana mempertanyakan identitas teman sejawat yang diposisikan menjadi lawan.</div><div><br /></div><div>Indonesia membutuhkan pendingin. Kedua ketua umum sudah memberi tauladan itu. Kunjungan dibalas dengan kunjungan. Senyuman dibalas dengan senyuman. Kata dibalas dengan kata. Belajar satu sama lain, dan menegaskan masing-masing sumbangannya. Tidak menegaskan siapa dirinya dan sumbangan yang diberikan. Kita perlu mengakui sumbangan kelompok lain.</div><div><br /></div><div>Pertemuan yang kedua kalinya secara resmi di tempat yang berbeda menegaskan empat hal yang mulia. Pertama, kerjasama antarorganisasi. Kedua, kepemimpinan moral tahun politik 2024.Ketiga, kerjasama dalam hal ekonomi umat. Keempat, kepemimpinan moral untuk umat.</div><div><br /></div><div>Keempat poin itu hanya bisa dilakukan dengan contoh nyata. Bukan sekadar tausiyah dan ceramah. Kita semua optimistis kedua pemimpin dan timnya masing-masing sudah melakukan langkah nyata, dan kita sebagai umat harus menyambut dengan suka cita dan mendukungnya.(poe)</div><div><br /></div><div>Al Makin, Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta</div><div><i>Sumber: https://nasional.sindonews.com/read/1109187/18/tepis-politik-identitas-1685073903?showpage=all</i></div>Phaul Hegerhttp://www.blogger.com/profile/11849891513433886497noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1632825501638395157.post-55767386842505210172020-08-30T21:56:00.001-07:002020-08-30T21:56:13.883-07:00Cermati Sebelum Membagi Informasi<i>Sahassamapi ce vaca, anatthapadasamhita; ekam atthapadam seyyo, yam sutva upasammati. Daripada seribu kata yang tidak berarti, adalah lebih baik sepatah kata yang bermanfaat,yang dapat membuat si pendengar menjadi penuh damai. (Dhammapada, syair 100)</i><br />
<i><br /></i>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgLK4jiLPtm69r0kckWe6mfMEgSyv4r1_mrjI87OHQwemJIA0n78LHbbaNJr6fQ7hTJRGSk372xUVTd6ZnQtnElB0wm9VnXrH8PPFfb09r4mazP2Al4-S4p1btPc9VeGQQbFTt5VWz5AbtV/s1600/Cermati+Sebelum+Membagi+Informasi.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="293" data-original-width="448" height="209" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgLK4jiLPtm69r0kckWe6mfMEgSyv4r1_mrjI87OHQwemJIA0n78LHbbaNJr6fQ7hTJRGSk372xUVTd6ZnQtnElB0wm9VnXrH8PPFfb09r4mazP2Al4-S4p1btPc9VeGQQbFTt5VWz5AbtV/s320/Cermati+Sebelum+Membagi+Informasi.jpg" width="320" /></a></div>
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya di bidang informatika, semakin mendorong laju informasi yang kadang-kadang menjadi tidak terkendali. Fenomena tersebut sudah tentu memiliki dampak yang baik maupun yang kurang baik.<br />
<br />
Dampak yang baik akan diperoleh jika informasi tersebut mengandung konten yang positif dan bermanfaat bagi penggunanya. Sebaliknya akan berdampak kurang baik, jika konten informasi itu tidak benar dan disalahgunakan oleh penggunanya. Oleh karena itu, manusia sebagai pengguna teknologi informasi perlu memahami adanya komponen pokok untuk dapat menentukan positif-negatifnya implikasi informasi, yaitu: sumber dan pengguna.<br />
<br />
Dalam kaitannya dengan dunia maya atau media sosial, kecenderungan dampak lebih diakibatkan oleh para pengguna. Mengapa ada di pengguna, karena dari para pengguna itulah penyebaran informasi dapat menjadi berbeda dari sumber aslinya. Tidak jarang para pengguna yang menyebarkan informasi itu memberikan komentar atau tambahan informasi yang bermuatan kontroversi atau provokasi yang menimbulkan rasa keingintahuan berlebih dari pengguna lainnya.<br />
<br />
Namun kita perlu menyadari bahwa seluruh dampak buruk itu dapat diredam dengan mudah jika mampu melakukan penyaringan informasi. Karena itu setiap menerima informasi dari berbagai media sosial perlu disaring sebelum disebarkan ke pengguna media sosial lainnya. Era sekarang ini informasi atau berita yang tidak berdasar seperti itu disebut hoax.<br />
<br />
Sebagai anggota masyarakat yang cerdas dan peduli dalam bermedia sosial, kita perlu memiliki kecermatan dan kebijaksanaan dengan berpegang pada ajaran agama untuk berbagi informasi. Dalam hal ini Guru Agung Buddha telah mengajarkan dua cara dalam melatih para siswa-Nya agar terhindar dari penyebaran informasi yang merugikan.<br />
<br />
Pertama, jangan mudah percaya begitu saja. Ajaran ini jelas dan tegas disampaikan dalam khotbah-Nya yang berjudul Kesaputtiya Sutta atau dikenal dengan Kalama Sutta (Anguttara Nikaya 3.65). Guru Agung Buddha menasihati penduduk Kalama agar jangan mudah percaya begitu saja terhadap hal-hal yang belum diketahui oleh diri sendiri melalui penyelidikan. Hal-hal yang seharusnya tidak dipercaya begitu saja di antaranya adalah “perkataan orang” termasuk perkataan dari seseorang yang dianggap tokoh berpengaruh.<br />
<br />
Kedua, datang dan selidiki sendiri. Guru Agung Buddha mengajak semua orang untuk melihat sendiri, mengalami sendiri apa yang terkandung dalam ajaran-Nya. Guru Agung Buddha menjelaskan bahwa Dhamma atau Kebenaran yang diajarkan-Nya adalah ajakan kepada semua orang tanpa kecuali untuk datang dan melihat, melakukan verifikasi atau pemeriksaan atau penyelidikan atas apa yang didengar untuk memperoleh bukti dan kebenaran dari apa yang didengar daripada hanya percaya begitu saja. Inilah yang kemudian dikenal dengan “ehipassiko”.<br />
<br />
Dengan tidak mudah percaya begitu saja terhadap sebuah berita atau informasi, memberikan seseorang waktu untuk berpikir sebelum menilai, berkomentar atau membagikan informasi. Dari manapun berita atau informasi itu kita dapatkan, hendaknya tidak langsung dipercaya begitu saja. Lakukanlah penyelidikan sendiri secara sederhana hingga mendalam sesuai berat-ringannya isu atau masalah dalam pemberitaan tersebut. Buktikan oleh diri sendiri apakah berita yang didengar atau dibaca benar adanya, setengah benar atau tidak benar sama sekali, dan tentu saja cermati sebelum membagi informasi.<br />
<br />
Selamat berbagi pengetahuan dan informasi untuk kebahagiaan dan kedamaian dalam kehidupan. Semoga semua makhluk hidup berbahagia. (Kemenag)<br />
<br />
S<i>umber: http://www.satuharapan.com/read-detail/read/cermati-sebelum-membagi-informasi</i>Phaul Hegerhttp://www.blogger.com/profile/11849891513433886497noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1632825501638395157.post-10417628041058453492020-08-18T15:47:00.000-07:002020-08-27T15:50:02.210-07:00Tujuh Belasan Yang Berbeda<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
Tahun ini ada yang berbeda dari perayaan ulang tahun kemerdekaan Negeri ini. Kemeriahan dalam bentuk kumpul-kumpul ditiadakan. Berarti lenyaplah sudah lomba makan kerupuk, lomba kelereng-di-sendok, lomba sepak bola pakai daster (khusus bapak-bapak), lomba masa-masak, lomba menghias gapura, lomba panjat pinang, dan seterusnya. Lenyap juga kehebohan panggung tujuhbelasan yang biasanya bertaburan hadiah-hadiah dari sponsor demi mengumpulkan massa sebanyak-banyaknya. Kemegahan upacara bendera di Istana Negara pun berubah drastis. Wah, padahal tahun ini adalah ulang tahun kemerdekaan Indonesia yang ke-75! Sebuah usia yang kerap dipandang lebih istimewa dari usia-usia lainnya.<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgrErSe7N4KA663xH49aKm3xkjIjHHWty_z75-yFTMjstA-XeerXtc4Oh4Li-keL_k-pBg1hL5IIL8AJViZwfxXG7nmAFxzZ8vvTymz7Dt4d2q95zyIqsSCuZW_9H6fCG2VCoLOzYQlu68j/s1600/hut+indonesia.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="400" data-original-width="600" height="426" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgrErSe7N4KA663xH49aKm3xkjIjHHWty_z75-yFTMjstA-XeerXtc4Oh4Li-keL_k-pBg1hL5IIL8AJViZwfxXG7nmAFxzZ8vvTymz7Dt4d2q95zyIqsSCuZW_9H6fCG2VCoLOzYQlu68j/s640/hut+indonesia.jpg" width="640" /></a></div>
<br />
Memang tidak ada yang menyangka kita akan merayakan tujuhbelasan dalam suasana yang mengharuskan kita menjaga jarak. Padahal, serunya tujuhbelasan justru ketika kita berkerumun dan bergerombol menonton keseruan acara sambil menyoraki para peserta lomba. Pula, kita tidak pernah mengira akan merayakan ulang tahun kemerdekaan Negeri tercinta sambil menghayati keprihatinan karena begitu banyak anak Bangsa yang kehilangan pekerjaan, belum lagi yang berdukacita karena kehilangan orang-orang terkasih. Padahal, namanya juga perayaan ulang tahun, biasanya kita dipenuhi kegembiraan dan tawa, serta suasana pesta yang meriah dan heboh. Sungguh, perayaan ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia tahun ini tidak pernah terpikirkan akan menjadi demikian!<br />
<br />
Namun, tentu saja, kita tidak akan membiarkan hari dan tanggal ini berlalu begitu saja, tanpa ada pengingat yang tak terlupakan. Peristiwa kemerdekaan adalah hal yang sangat berharga bagi segenap Bangsa. Jelas, kita tidak rela kehadiran virus COVID-19 membuat kita mengabaikan peristiwa se-berharga tujuh belasan. Jadi, sebisa kita memperingatinya, kita akan melakukannya dengan sebaik-baiknya. Sang Saka Merah-Putih tetap berkibar sepenuh tiang dengan gagah-berani. Setulus hati hening cipta kita lakukan dalam kenangan para pahlawan Bangsa sepanjang masa, baik mereka yang bertempur dengan bambu runcing, maupun juga mereka yang berperang dalam jubah APD (Alat Pelindung Diri). Tidak ketinggalan, dengan segenap suara kita kumandangkan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya.<br />
<br />
Menghayati pertambahan usia dalam situasi seperti ini sesungguhnya mengajari kita beragam hal. Soal prioritas, misalnya. Jika biasanya kita menganggap tujuh belasan tanpa kemeriahan adalah sebuah cela, kini kita sadar bahwa kemeriahan tidak harus menjadi wujud penghargaan terhadap tujuhbelasan. Jika biasanya kita menjadikan padanya massa sebagai tanda suksesnya acara yang kita selenggarakan, kini kita tahu bahwa kesediaan masyarakat untuk tidak berkerumun dan bergerombol adalah bentuk kecintaan yang setulus hati terhadap Negeri.<br />
<br />
Juga soal solidaritas. Sekalipun tengah menghayati aneka kesulitan, kebanyakan kita tidak enggan mengulurkan bantuan pada saudara sebangsa. Justru kesulitan yang kita alami memampukan kita berbelarasa terhadap kesulitan sesama. Kesadaran bahwa kita adalah saudara se-Bangsa dan se-Tanah-Air sangat terasa pada ulang tahun Negeri kali ini.<br />
<br />
Menyimak semua ini, sekalipun ulang tahun ini diwarnai nuansa prihatin, bukan berarti tanpa makna. Sekalipun tujuh belasan kali ini berbeda, maknanya justru luar biasa. Itu sebabnya, kita tetap bisa mengatakan dengan tegas, <i>“Bersyukurlah kepada TUHAN, sebab Ia baik! Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya.”</i> (Mazmur 136:1) Dirgahayu Indonesia! Soli Deo Gloria!<br />
<br />
Penulis: Timur Citra Sari<br />
Editor : Sabar Subekti<br />
Link: http://www.satuharapan.com/read-detail/read/tujuh-belasan-yang-berbedaPhaul Hegerhttp://www.blogger.com/profile/11849891513433886497noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1632825501638395157.post-90975461526856053512020-07-17T21:19:00.001-07:002020-07-17T21:19:35.447-07:00Meretas Harapan di era Kebiasaan (Normal) BaruPada awal munculnya koran “Satuharapan.com” ini di layar digital, pada tahun 2013, saya menulis opini di laman ini tentang harapan. Tentu tujuannya agar nama dan berita koran ini menjadi tanda bahwa harapan perlu disiangi dari kabut persoalan sehari-hari. Dan harapan itu, kalau masih hendak kita usung saat ini maka ia tak bisa dipisahkan dari soal-soal yang terkait dengan pandemi global Covid-19.<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgf5hNDbACAWuyu2o7ZDE4I-3Or2e9lwHGaexeNqIidpkX5qPLAI0vibAAYePU7GX8jaRpTWmM5-mGmJaXez7a5IfUHMwXuqktvj1eMmjqv7xJdqXxAWOPuIWtRp4WbknYgFKN_sgVEdS-A/s1600/Dr+Martin+Lukito+Sinaga.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="400" data-original-width="600" height="426" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgf5hNDbACAWuyu2o7ZDE4I-3Or2e9lwHGaexeNqIidpkX5qPLAI0vibAAYePU7GX8jaRpTWmM5-mGmJaXez7a5IfUHMwXuqktvj1eMmjqv7xJdqXxAWOPuIWtRp4WbknYgFKN_sgVEdS-A/s640/Dr+Martin+Lukito+Sinaga.jpg" width="640" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Dr. Martin Lukito Sinaga. (Foto: dok.)</td></tr>
</tbody></table>
<br />
Pada tulisan itu, saya bertolak dari pikiran Al Gore dalam bukunya “The Future” (2013). Katanya, mengenai harapan akan masa depan tak bisa lepas dari kenyataan ekonomi pasar kapitalistik dan kemajuan sains. Tapi juga harapan akan sungguh menyingsing kalau manusia bisa menyelamatkan bumi dari kerusakannya, sambil menjaga demokrasi dari ancaman-ancaman barunya.<br />
<br />
Sekarang ini di era adaptasi akan kebiasaan nomal baru, ihwal harapan justru semakin genting bagi kita; apalagi yang bisa membuat kita bertahan di tengah pandemi Covid-19 kalau bukan harapan yang kiranya menampakkan wujudnya? Dalam pada itu catatan Al Gore tetap relevan, hari-hari ini kemajuan sains sedemikian kita andalkan agar sesegera mungkin kiranya ilmuwan dunia menemukan vaksin penawar Covid-19.<br />
<br />
Tapi ekonomi kapitalistik ternyata muncul tidak sebagai penopang dalam kehidupan hari-hari kita. Modal sosial atau gotong-royong masyarakat biasalah yang ternyata menyangga peri kehidupan sehari-hari. Dan kerusakan bumi tak bisa juga diatasi. Berita bahwa langit makin biru dan emisi CO kita berkurang rupanya hanya terjadi karena manusia dipaksa mengurangi polusi oleh keadaan pandemi ini. Demokrasi pun berkembang cukup mencemaskan -demokrasi kita di Indonesia malah dinilai “flaw democracy”-. Hal di atas sedemikian karena populisme merebak dalam demokrasi, yang ditambah dengan situasi kedaruratan yang membuat negara menetapkan banyak hal tanpa partisipasi warganya.<br />
<br />
<b>Adaptasi Darurat atas Normal Baru</b><br />
<br />
Atas semua catatan di atas, memang tampak bahwa umumnya manusia tak cukup serius dalam menyiapkan masa depannya. Sains dan modal sosial masyarakat adalah dua hal yang membuat kita masih tetap optimis saat ini, tetapi tata kelola ekonomi yang kapitalistik, yang turut mendorong tergerusnya lingkungan hidup, ternyata membuat kita was-was.<br />
<br />
Sambil kita mencatat pilar-pilar harapan yang timpang di atas, kita memang kini perlu “berdamai” dengan virus yang berbahaya ini. Caranya sudah dikampanyekan: kenakan masker, rajin mencuci tangan, jagalah jarak sosial. Semua warga yang akan beraktivitas harus ikut protokol kesehatan hari-hari ini. Diksi baru pun muncul yaitu “Normal Baru”, yang selanjutnya dibaharui menjadi “Adaptasi Kebiasaan Baru”.<br />
<br />
Bagaimanapun juga, yang kita sedang alami kini adalah sebentuk pengendalian sosial, agar kemungkinan pembangkangan bisa dicegah. Agar juga rantai penularan bisa diputuskan. Undang-undang yang semula Perppu No 1/2020 tentang Penanganan COVI-19 itu telah ditetapkan selaku dasar untuk semua hal ini. Di pihak lain tak bisa dihindari bahwa keadaan ekonomi adalah pertaruhan besar di balik semua ini. Tanpa menunjukkan angka statistik kita sudah alami sendiri resesi kehidupan ekonomi. Permintaan amat melorot, bahkan di sektor kesehatan sekali pun. Tentu pasokan akan amat terganggu, dan hal itu membuat jaminan pekerjaan kita serba rentan.<br />
<br />
Di atas semua itu ada pengalaman bersama selaku warga yang tak bisa kita hindarkan, yaitu keadaan “bare life” diri kita. Istilah ini datang dari Giorgio Agamben, pemikir Itali yang menguraikan bahwa oleh situasi sosial politik -atau pun politik di era pandemi- hidup kita seperti telanjang saja. Artinya, hidup kita yang pernah kita kira bermartabat dan terlindung sebagai hak privat, ternyata bisa kapanpun kehilangan pendakuannya. Kita bisa jadi orang terlantar kapan pun, tapi tak bisa menuntut akan hak-hak perlindungan diri. Kita bisa juga dikarantina tanpa daya menolak. Atau kala kita tak kuat berdiri lagi karena sakit, bisa saja tak ada yang peduli dengan nafas kita yang tersengal-sengal karena virus ini, mengingat rumah sakit telah penuh sesak.<br />
<br />
Dalam keadaan adaptasi atas normal baru ini, yang terasa seperti keadaan darurat, seolah yang berdaulat itu bukan pribadi kita lagi. Terasa sekali bahwa ada hal yang di luar diri kita yang begitu berwenang: entah virus Covid-19 ini, atau Protokol Kesehatan, atau juga Puskesmas dan Pemda setempat, yang menentukan bagaimana dan dimana kita boleh beraktifitas sehari-hari.<br />
<br />
Di laman bernama “Quodlibet” dari Agamben, ia menulis “Klarifikasi” pada tanggal 31 Maret 2020 lalu, dan isinya tentang keadaan darurat akibat pandemi ini. Keadaan telanjang tadi telah membuat masing-masing kita satu dengan lainnya makin berjarak. Dan hidup kita berada antara terlantar atau diawasi dengan adanya “jam malam” pembatasan. Makin terasa bahwa kita semua jadi bagian dari kawanan prekariat, yang rentan dan tak punya jaminan sosial ataupun ekonomi lagi.<br />
<br />
<b>Beradaptasi dalam Harapan</b><br />
<br />
Harapan yang datang dalam adaptasi kita atas hidup normal-baru, sebagian masih melanjutkan apa yang saya catat di laman ini tahun 2013 itu. Yaitu bertolak dari nama-nama setiap individu yang walau kali ini tampak tertulis dalam angka, tapi membesarkan hati. Yaitu nama-nama atau jumlah dari orang-orang yang telah sembuh.<br />
<br />
Pada setiap nama itu sesungguhnya ada cerita, dan di setiap biografi mereka akan ada tali-temalinya dengan nama lain. Kesehatannya akan berarti berkurangnya penularan, dan itu semua akan membentuk jaringan kehidupan. Maka harapan diretas kalau kita mulai menyebut nama seseorang, dan mendengarkan biografinya yang selalu akan bertutur tak terperikan tentang jalan sintasnya mengatasi pagebluk ini.<br />
<br />
Dan betapa kita akan sadar bahwa hidup bersama yang dijalani dengan semangat keugaharian tampak semakin meyakinkan, bukan dengan jalan kompetitif berlomba kaya. Sebentuk hidup yang mencukupkan diri, justru akan lebih sehat dan sintas, dan hal itu bukan hanya untuk dirinya saja, tapi juga untuk semua kita. Kapitalisme dengan demikian diam-diam digangsir, dan kita kiranya bisa bersama-sama mencari cara lain menempuh kesejahteraan ekonomi bersama.<br />
<br />
Selanjutnya, harapan dalam biografi keguarian tadi kiranya ditautkan dengan cerita-cerita hidup warga sesama ke seantero dunia. Dengannya, “network” kita menembus tembok-tembok mimpi yang diciptakan oleh korporasi besar agar kita mengejar dengan loba segala merek mahal mereka.<br />
<br />
Seorang remaja kelahiran 2003 bernama Greta Thunberg telah menjadi simpul biografi keugaharian yang sekaligus menjadi titik berangkat gerakan lingkungan hidup. Ia bersikeras ingin memiliki harapan, yang kita orang dewasa akan hancurkan kalau lingkungan hidup terus dirusak. Dan kalau gerakan pelestarian ini menguat dan mempengaruhi demokrasi kita, maka tak perlu lagi kita rusuh akibat politik identitas atau populisme yang menggerogoti demokrasi akhir-akhir ini.<br />
<br />
Semoga seperti doksologi abad ke IV kepada Tuhan, yang disebut Gloria Patri itu, kita bisa bernyanyi: setelah melantunkan “kemuliaan bagi Tuhan…”, maka ucapan kita pun berseru “et saecula saeculorum, dunia tanpa akhir”. <br />
<br />
Martin Lukito Sinaga (Dosen Luar Biasa di STFT Jakarta dan STF Driyarkara)<br />
<br />
Link: http://www.satuharapan.com/read-detail/read/meretas-harapan-di-era-kebiasaan-normal-baruPhaul Hegerhttp://www.blogger.com/profile/11849891513433886497noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-1632825501638395157.post-31962837391583504812020-05-03T10:00:00.000-07:002020-05-03T10:00:08.045-07:00Pengertian Opini dan Pengertian Fakta<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiUzHwxi4l4fCQrGnmcCv190ABfqrpN0Maqoxb0vIvwqfJ1dk5V6KJ8K_OcqCp4xBgWk5orD8qxc_2wZFHq5HLAxy9CFQMdtbw5wHl0YP1S_dEzR7qTD0RfPHif_QeN152U1R_Ww5uVJL6S/s1600/ciri+opini+dan+fakta.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="281" data-original-width="650" height="276" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiUzHwxi4l4fCQrGnmcCv190ABfqrpN0Maqoxb0vIvwqfJ1dk5V6KJ8K_OcqCp4xBgWk5orD8qxc_2wZFHq5HLAxy9CFQMdtbw5wHl0YP1S_dEzR7qTD0RfPHif_QeN152U1R_Ww5uVJL6S/s640/ciri+opini+dan+fakta.jpg" width="640" /></a></div>
<b>Pengertian Kalimat Fakta dan Opini Beserta Contohnya dan Perbedaannya</b><br />
<br />
Pengertian Kalimat Fakta dan Opini – Kita mungkin sering mendengar istilah fakta dan opini baik itu di buku, koran ataupun teks-teks baik itu teks berita, teks deskripsi produk dalam iklan, tajuk rencana ataupun lain sebagainya.<br />
<br />
Lalu, apa sih pengertian dari masing-masing kata tersebut, apa perbedaan dari fakta dan opini serta bagaimana kita dapat memahaminya dalam contoh sederhana?. Nah, diartikel singkat ini kita akan membahas apa itu pengertian, perbedaan serta contoh kalimat fakta dan juga opini.<br />
<br />
<h3>
Pengertian Fakta</h3>
<br />
Secara sederhana, fakta adalah sesuatu hal yang telah terbukti kebenarannya, fakta berisi sesuatu yang benar-benar ada dan pernyataan dari sebuah fakta biasanya sulit untuk disanggah oleh siapapun.<br />
<br />
Dalam sebuah fakta, pendapat satu dengan orang lainnya umumnya sama karena kejadiannya jelas, tidak dapat terbantahkan serta dapat dicek atau dilakukan verifikasi oleh siapapun.<br />
<br />
Sumber Kalimat Fakta Terdiri Dari 3 Jenis.<br />
<br />
<ol>
<li>Fakta yang diperoleh dari peristiwa nyata.</li>
<li>Fakta yang diperoleh dari hasil riset.</li>
<li>Fakta yang diperoleh dari pendapat seseorang berdasarkan suatu peristiwa pengamatan.</li>
</ol>
<br />
<br />
Ciri-Ciri Kalimat Fakta<br />
<br />
<ul>
<li>Kebenarannya dapat dibuktikan dan diverifikasi oleh siapapun</li>
<li>Data yang disajikan akurat dan tepat</li>
<li>Bersifat objektif atau tidak memihak siapapun</li>
<li>Secara umum dapat menjawab pertanyaan 5W1H (what, where, when, who, why dan how)</li>
<li>Informasi diperoleh dari kejadian yang nyata.</li>
<li>Dapat berupa pernyataan atau angka-angka.</li>
</ul>
<br />
<br />
<h3>
Pengertian Opini</h3>
<br />
Sedangkan, opini adalah suatu pernyataan yang belum tentu kebenarannya. Opini umumnya didasarkan pada pendapat atau gagasan seseorang dalam merespon suatu kejadian atau masalah.<br />
<br />
Kebenaran dalam kalimat opini bersifat pribadi. Dalam beropini pendapat antara satu orang dengan lainnya mungkin berbeda. Entah itu karena sudut pandang yang dipakai ataupun hal lainnya.<br />
<br />
Namun, suatu opini dapat berubah menjadi fakta ketika kejadian tersebut benar-benar terjadi seperti apa yang dinyatakan. Ciri ciri yang biasanya terdapat dalam kalimat opini adalah penggunaan kata-kata seperti: mungkin, menurut saya, tampaknya, saya kira dll.<br />
<br />
Ciri-Ciri Kalimat Opini<br />
<br />
<ul>
<li>Kebenarannya belum dapat dibuktikan</li>
<li>Bersifat subjektif</li>
<li>Pernyataan opini umumnya berupa saran, gagasan, nasihat, pendapat atau argumen pribadi.</li>
<li>Bersifat spekulatif atau mengira-ngira</li>
<li>Data kurang akurat</li>
<li>Mengandai-andai dan biasanya menggunakan kata atau frasa seperti mungkin, saya kira, jika, kalau dsb.</li>
</ul>
<br />
<br />
<h3>
Perbedaan Fakta dan Opini</h3>
Perbedaan antara fakta dan opini dapat kita lihat dalam bentuk tabel berikut ini:<br />
<br />
<b>FAKTA</b><br />
Kebenarannya dapat dibuktikan<br />
Bersifat objektif<br />
Pernyataan bersumber dari peristiwa nyata, riset ataupun pengamatan<span style="white-space: pre;"> </span><br />
Bersifat pasti<br />
Data akurat<br />
Umumnya pendapat setiap orang sama<br />
<br />
<b>OPINI</b><br />
Kebenarannya belum dapat dibuktikan<br />
Bersifat subjektif<br />
Pernyataan bersumber dari saran, gagasan atau pendapat pribadi<br />
Mengira-ngira<br />
Data kurang akurat<br />
Pendapat setiap orang berbeda-beda<br />
–<span style="white-space: pre;"> </span>–<br />
<br />
Contoh Kalimat Fakta dan Kalimat Opini<br />
Berikut ini adalah beberapa contoh dari kalimat fakta dan juga opini:<br />
<br />
<ul>
<li>Indonesia adalah tuan rumah Asian Games 2018. (fakta)</li>
<li>Indonesia pantas menjadi tuan rumah ajang Olimpiade 2032 (opini).</li>
<li>Soeharto adalah presiden kedua Republik Indonesia (fakta)</li>
<li>Soeharto adalah presiden terbaik Indonesia (opini) </li>
<li>Gunung tertinggi di pulau jawa adalah Gunung semeru (fakta)</li>
<li>Pemandangan di atas puncak gunung lebih indah dibandingkan pemandangan di bawah laut. (opini).</li>
<li>Perempuan terlihat lebih cantik bila memakai jilbab berwarna ungu (opini)</li>
</ul>
<br />
Penyusunan kalimat-kalimat fakta sangat dibutuhkan. utamanya ketikan menyusun karya ilmiah<br />
ataupun teks berita. Dalam penulisan kedua teks tersebut kalimat opini jarang digunakan karena<br />
keberadaannya tidak valid dan belum dapat dipertanggungjawabkan.<br />
<br />
Sumber: https://salamadian.com/pengertian-kalimat-fakta-dan-opini-beserta-contohnya-perbedaannya/Phaul Hegerhttp://www.blogger.com/profile/11849891513433886497noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-1632825501638395157.post-58383110782864133912020-05-02T19:27:00.001-07:002020-05-02T19:27:34.596-07:00Opini dan Pengertian serta Jenis-jenis Opini<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiZnMlg65rRySfK2gShuyag85GCskyJn_PJgaOVwoUVZh34JIX4eAN86BywSCBCJpVckftMvehyphenhyphenQ9jse7c11YpXUip5BoPRSwWx0f3p2YLiVmuJu2-xmM2zeWY_7lDBcgv9nUsgmKftrGnV/s1600/the+power+of+opini.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="200" data-original-width="300" height="425" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiZnMlg65rRySfK2gShuyag85GCskyJn_PJgaOVwoUVZh34JIX4eAN86BywSCBCJpVckftMvehyphenhyphenQ9jse7c11YpXUip5BoPRSwWx0f3p2YLiVmuJu2-xmM2zeWY_7lDBcgv9nUsgmKftrGnV/s640/the+power+of+opini.jpg" width="640" /></a></div>
<h3>
Opini</h3>
Seringkali kita mendengar kata opini, bahkan kita sendiri tanpa disadari sering beropini. Jadi apa itu opini? Apakah opini sama dengan pandangan?<br />
<br />
<h3>
Pengertian Opini</h3>
Opini secara singkat adalah suatu pendapat yang belum tentu kebenarannya. Opini merupakan pendapat pribadi yang tidak obyektif serta belum melalui proses varifikasi.<br />
<br />
Opini juga dapat diartikan sebagai suatu kesimpulan yang ada dalam suatu pikiran belum dikeluarkan untuk diperdebatkan. Suatu opini yang sudah bulat diartikan sebagai statement dan bila dipegang secara teguh maka akan menjadi keyakinan. Sedangkan pandangan merupakan suatu opini yang agak di warnai oleh kecendrungan.<br />
<br />
Menurut William Albig (1993:53) opini adalah suatu pernyataan tentang sesuatu yang sifatnya bertentangan atau setidaknya terdapat perbedaan mengenai suatu hal.<br />
<br />
Dari penjelasan diatas, opini merupakan suatu taksiran yang berbentuk di dalam pikiran tentang sesuatu hal yang sifatnya bertentangan.<br />
<br />
<h3>
Unsur Opini</h3>
Dari pengertian opini diatas, maka dapat diketahui unsur terbentuknya suatu opini.<br />
<br />
<h3>
Kepercayaan mengenai sesuatu</h3>
Menurut wikipedia, kepercayaan atau keyakinan merupakan suatu sikap yang ditujukkan oleh manusia saat ia merasa cukup tahu dan menyimpulkan bahwa dirinya telah mencapai kebenaran. Kepercayaan meliputi bagian dari pengalaman dimasa lalu, seperti pikiran, ingatan, serta interprestasi terhadap sesuatu.<br />
<br />
<h3>
Apa sebenarnya dirasakan seseorang</h3>
Suatu prediposisi (suatu keadaan yang mudah terpengaruh) terhadap seseorang, ide atau obyek yang berisi komponen-komponen pengertian, perasaan atau emosi dan perilaku, dimana komponen ini juga merupakan komponen dari sikap.<br />
<br />
<h3>
Persepsi</h3>
Merupakan peroses internal yang memungkinkan untuk memilih, mengorganisasikan serta menafsirkan rangsangan dari lingkungan kita dan proses tersebut mempengaruhi perilaku kita.<br />
<br />
Secara garis besar unsur terbentuknya opini adalah persepesi.<br />
<br />
<b>Pernyataan Opini </b><br />
<br />
Opini dapat diutarakan secara aktif maupun pasif, lisan dan baik melalui ungkapan kata yang dapat ditafsirkan dengan jelas, ataupun melalui pilihan kata yang halus atau dapat juga diungkapkan secara tidak langsung dan dapat diartikan secara konotatif atau persepsi (personal).<br />
<br />
Opini juga dapat dinyatakan melalui perilaku, sikap, tindakan, mimik maupun bahasa tubuh atau simbol-simbol tertulis. Jawaban yang dikeluarkan akan menunjukkan tiga jenis penilaian, yakni;<br />
<br />
<b>Positif</b><br />
Membuat seseorang bereaksi secara menyenangkan terhadap orang lain, suatu masalah, suatu kebijaksanaan, atau sebuah organisasi<br />
<br />
<b>Pasif</b><br />
Yang bersangkutan tidak memiliki opini tentang persoalan yang mempengaruhi kelompoknya<br />
<br />
<b>Negatif</b><br />
Menyebabkan seseorang untuk beropini yang tidak menyenangkan tentang seseorang, suatu organisasi atau suatu persoalan.<br />
<br />
<br />
<h3>
Jenis – jenis Opini</h3>
Opini dapat dikelompokkan menjadi , opini individual, pribadi, kelompok,mayoritas, minoritas, massa, dan opini umum.<br />
<br />
<h3>
Opini Individual</h3>
Merupakan pendapat seseorang tentang apa yang terjadi dalam masyarakat. Pendapat ini sifatnya dapat disetujui maupun sebaliknya. Dengan begitu akan dapat diketahui tentang orang orang yang sependapat dan yang tidak sependapat dengan dia, setelah ia memperbicangkan dengan orang. Maka seusuatu yang terjadi pada saat ini menjadi objek opini publik. Jadi, opini publik itu merupakan perpaduan dari opini-opini individual.<br />
<br />
Pendapat menjadi opini dikarenakan sesuatu yang terjadi dalam masyarakat tadi akan menimbulkan pertentangan antara pro dan kontra.<br />
<br />
<h3>
Opini Pribadi</h3>
Merupakan pendapat asli atau nyata dari seseorang tentang suatu masalah sosial. Opini pribadi timbul bilamana seseorang tanpa dipengaruhi orang lain menyetujui atau tidak suatu masalah sosial, kemudian berdasarkan nalarnya ia sampai pada suatu kesimpulan sebagai suatu tanggapan masalah sosial tersebut, dan bila dikomunikasikan pada orang lain dalam bentuk obrolan maka ia telah menyampaikan opini pribadinya.<br />
<br />
<h3>
Opini Kelompok</h3>
Merupakan pendapat sekelompok orang mengenai suatu masalah sosial yang menyangkut kepentingan orang banyak.<br />
<br />
<h3>
Opini Mayoritas</h3>
Merupakan pendapat terbanyak dari mereka yang berkaitaan dengan suatu masalah antara pro dan kontra. Biasanya opini ini akan dibawa ke forum terbuka dalam bentuk lembaga misalnya parlemen.<br />
<br />
<h3>
Opini Minoritas</h3>
Merupakan kebalikan dari opini mayoritas. Opini minoritas merupakan pendapat orang-orang yang jumlah relatif lebih kecil atau sedikit bila dibandingkan dengan jumlah lainnya yang terkait dengan suatu masalah sosial.<br />
<br />
<h3>
Opini massa</h3>
Merupakan kelanjutan dari opini publik. Opini masa merupakan pendapat seluruh masyarakat sebagai hasil perkembangan pendapat yang berbeda mengenai masalah yang berhubungan dengan kepentingan umum.<br />
<br />
<h3>
Opini umum</h3>
Adalah pendapat yang sama dari semua orang dalam suatu masyarakat mengenai suatu masyalah yang berhubungan dengan kepentingan umum.<br />
<br />
Dari pengertian tersebut, tampak persamaan dengan opini massa yaitu, keduanya, semua orang memiliki pendapat yang sama. Sementara perbedaannya adalah bila pada opini masa pendapat yang sama ini merupakan hasil dari perkembangan opini publik, sementara opini umum tidak.<br />
<br />
Rujukan<br />
- http://digilib.unila.ac.id/Phaul Hegerhttp://www.blogger.com/profile/11849891513433886497noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-1632825501638395157.post-53639961265173419422020-05-01T12:20:00.000-07:002020-05-01T12:20:27.978-07:00Korona, Kiai, dan Immune Booster<b>Akh. Muzakki</b><br />
<i>Sekretaris PWNU Jawa Timur, Guru Besar dan Dekan FISIP UINSA Surabaya</i><br />
<br />
MUNGKIN Anda sering mendengar kalimat ini: “Jangan takut kepada korona; takutlah kepada Allah SWT!”. Mungkin pula Anda pernah menyimak ungkapan seperti ini: “Tenanglah, tak perlu takut korona. Jangan gelisah. Pasrahlah kepada Allah.”<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg70zV-wgvUunJhZTIJPgIHcGBmuJV-mboINo_dPzaOoQKIqBiX0Z4K-rGohFRfvnC7eiz8rxBzpkFN2zeJRwxK1uDSQP_dEFeI2jVju41MinseNAStPcInx4kvHUSdZfPE8zTyeB2paEFX/s1600/Akh+Muzakki+Sekretaris+PWNU+Jawa+Timur+Guru+Besar+dan+Dekan+FISIP+UINSA+Surabaya.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="413" data-original-width="620" height="426" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg70zV-wgvUunJhZTIJPgIHcGBmuJV-mboINo_dPzaOoQKIqBiX0Z4K-rGohFRfvnC7eiz8rxBzpkFN2zeJRwxK1uDSQP_dEFeI2jVju41MinseNAStPcInx4kvHUSdZfPE8zTyeB2paEFX/s640/Akh+Muzakki+Sekretaris+PWNU+Jawa+Timur+Guru+Besar+dan+Dekan+FISIP+UINSA+Surabaya.jpg" width="640" /></a></div>
<br />
Kalimat-kalimat tersebut banyak beredar di medsos dan berbagai pemberitaan saat ini. Ya, saat virus korona menyebar dengan cepatnya di negeri ini. Penularannya dahsyat. Dan, siapa pun tercengang tanpa kuasa mengendalikannya.<br />
<br />
Kalimat dan ungkapan di atas keluar dari lisan kiai. Dan, sejumlah kiai merasa harus menyebarkan nasihat-nasihat itu kepada publik dalam “bahasa” agama, tidak dengan bahasa selainnya yang membuat mereka melebihi kapasitasnya sebagai pemegang otoritas keagamaan.<br />
<br />
Lalu pertanyaannya, bagaimana membaca nasihat para kiai seperti yang tercermin dalam untaian kalimat dan ungkapan di atas? Apakah para kiai itu kehilangan akal sehat? Apakah para kiai itu sudah kehilangan nalar dan logika yang waras?<br />
<br />
Tentu, kemunculan pertanyaan-pertanyaan tersebut terjadi di benak sejumlah warga masyarakat dengan menabrakkan untaian kalimat dan ungkapan para kiai di atas dengan fakta yang terjadi di lapangan, yakni bahwa virus korona menyebar dengan cepatnya, mengenai siapa saja tanpa pandang bulu (jabatan, agama, ras, etnis, dan kelompok sosial apa pun), serta melumpuhkan hampir semua sektor kehidupan.<br />
<br />
Dahsyatnya tingkat persebaran dan dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan membuat virus korona lalu menjadi “musuh bersama” masyarakat. Namun, masyarakat sendiri juga tak tahu harus bagaimana melawan virus korona itu karena antivirusnya juga belum ditemukan dan amunisi yang dibutuhkan pemerintah untuk memunculkan antivirusnya serta menurunkan daya sebarnya juga memakan biaya yang superbesar.<br />
<br />
Lalu, situasi itu memberikan tekanan yang sungguh kuat nan besar kepada semua pihak. Maka, galau, resah, gelisah, dan takut yang menghantui hampir semua orang adalah konsekuensi logis dari lemahnya kuasa berbagai pihak dalam mencegah, menangani, dan sekaligus menyelesaikan dampak medis, sosial, dan ekonomi dari virus korona di atas.<br />
<br />
Dalam situasi seperti itu, lalu sejumlah masyarakatpun tampak mempertanyakan nasihat para kiai di atas. Sebagian mereka mungkin selanjutnya mempermasalahkan ungkapan “Jangan takut kepada korona; takutlah kepada Allah SWT!” dan sejenisnya di atas. Bahkan, sebagian lainnya tampak cenderung mencibir para kiai karena nasihat keagamaannya tersebut dianggap menabrak prinsip kesehatan-medis.<br />
<br />
Dalam hemat saya, membaca kalimat dan ungkapan para kiai yang dikeluarkan sebagai nasihat kepada warga masyarakat di atas tak seharusnya berhenti pada uraian verbatimnya. Kalimat dan ungkapan oleh sejumlah kiai di atas harus diletakkan dalam konteks serta ranah kejiwaan dan spiritualitas publik.<br />
<br />
Penjelasan sederhananya begini. Dalam menghadapi persebaran dan penularan virus korona yang superdahsyat belakangan ini, mental publik tidak boleh jatuh. Semangat hidup individu masyarakat tidak boleh tersungkur. Psikis dan emosi mereka tidak boleh terhuyung ke titik terendah.<br />
<br />
Pasalnya, kalau semua itu terjadi, daya kebal tubuh mereka akan menurun drastis. Ujungnya, sistem kekebalan tubuh (the immune system) mereka akan hancur. Akhirnya, virus korona pun akan leluasa masuk dan menggerogoti kesehatan mereka. Lalu, mereka pun tinggal menunggu waktu untuk menjadi korban selanjutnya virus yang belum ditemukan obatnya itu.<br />
<br />
Jadi, yang sedang dimainkan oleh sejumlah kiai melalui ungkapan dan nasihat keagamaan di atas adalah menjaga dan sekaligus mengelola tekanan emosi jiwa (emotional stress) yang sedang dihadapi warga masyarakat. Hanya bedanya dengan dokter dan atau tenaga medis profesional, peranti dan bentuk aktivitas klinis yang dimainkan kiai berada dalam otoritas keagamaan dan bukan medis.<br />
<br />
Tetapi sejatinya, kiai dan dokter bertemu pada satu titik konsentrasi, yakni sama-sama menjaga kesehatan individu warga masyarakat melalui penjagaan yang kuat atas hubungan antara jiwa dan raga. Sebab, dalam khazanah medis pun, hubungan antara jiwa dan raga, atau dalam bahasa keilmuan standarnya disebut mind dan body, juga menjadi kajian tersendiri, termasuk di antaranya dalam kaitan dengan sistem kekebalan tubuh manusia.<br />
<br />
Pasalnya, sakit fisik dalam bentuk seperti sakit jantung dan perut diyakini pula dalam dunia medis memiliki kaitan erat dengan, dan menjadi dampak terukur dari, tekanan emosi jiwa. Dan apa pun tantangan dan kondisinya, keilmuan medis pun mengkaji betul hubungan antara tekanan emosi jiwa dan fungsi kekebalan tubuh. Jika emosi jiwa tertekan secara kuat, maka fungsi kekebalan tubuh pun dipandang akan terganggu dan menurun.<br />
<br />
Jadi, para kiai pun tampak ingin menjaga dan sekaligus meningkatkan sistem kekebalan tubuh (immunity booster) individu-individu warga masyarakat agar tetap stabil dan tidak bangkrut, sebagaimana juga dilakukan para dokter dan tenaga medis profesional. Hanya caranya saja yang berbeda dengan kalangan profesional di bidang medis itu. Kiai menggunakan spiritualisme dalam menyugesti pengelolaan tekanan emosi jiwa, dokter menggunakan perspektif medis.<br />
<br />
Lalu pertanyaan ujungnya, apakah dengan nasihat keagamaan melalui kalimat-kalimat di atas para kiai telah melanggar prinsip edukasi yang produktif kepada masyarakat? Tentu jawabannya tidak. Justru dengan kalimat dan ungkapan nasihat di atas, kiai sedang mengajarkan kepada kita tentang asas profesionalisme. Kiai memberikan pelajaran untuk tidak keluar dari batas otoritas akademiknya di bidang keagamaan.<br />
<br />
Lebih dari itu, dalam kasus virus korona, kiai sedang menjaga dan meningkatkan imun individu masyarakat melalui prinsip spiritualisme positif. Bentuknya adalah ajaran bahwa sabar adalah immune booster. Bahwa tawakal adalah immune booster. Bahwa tidak stres adalah immune booster. Dan, bahwa tenang adalah immune booster. Tentu, jika kiai dan dokter bersinergi, maka cakupan immune booster akan bergerak semakin sempurna. (*) (cip)<br />
<br />
Link <a href="https://nasional.sindonews.com/read/12101/18/korona-kiai-dan-immune-booster-1588179872" rel="nofollow" target="_blank">Sindo</a>Phaul Hegerhttp://www.blogger.com/profile/11849891513433886497noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-1632825501638395157.post-36964747243423464562020-05-01T12:14:00.001-07:002022-04-16T22:26:25.890-07:00TEORI KONSPIRASI DAN RELAKSASI KELELAHAN MASSA<b>Dr. Firman Kurniawan S</b><br />
Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital<br />
Pendiri LITEROS.org<br />
<br />
Virus Corona adalah material yang dibiakkan secara kultural. Kehadirannya dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan, dilangsungkan dalam laboratorium terkontrol, bahayanya didengungkan lewat propaganda ketakutan. Dan tentu saja, ada pihak yang menyebarkannya, untuk tujuan tertentu. Narasi alternatif ini dikembangkan menandingi teori berbagai lembaga kesehatan kredibel, namun tak kunjung peroleh penangkal vius.<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjXOSDkxE3euLtBULq6lXQq0X8Ezu6lwNkZgqyBiVrMfrQ9TJss1K8GsQGfaBz5Xna_liyzq5I1OLmeFnlMwL-0ooqS2Z14BoqIhZ0M3WWOpeUyhzK-oNU_N8o3RECakvIaT0auZIyXtrWn/s1600/Firman+Kurniawan.jpg" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="415" data-original-width="620" height="267" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjXOSDkxE3euLtBULq6lXQq0X8Ezu6lwNkZgqyBiVrMfrQ9TJss1K8GsQGfaBz5Xna_liyzq5I1OLmeFnlMwL-0ooqS2Z14BoqIhZ0M3WWOpeUyhzK-oNU_N8o3RECakvIaT0auZIyXtrWn/s400/Firman+Kurniawan.jpg" width="400" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Firman Kurniawan. foto:istimewa</td></tr>
</tbody></table>
<br />
Narasi beredar meramaikan jagad media sosial, tak tanggung-tanggung melibatkan Profesor Tasuku Honjo, peraih Nobel dari Jepang . Menurutnya, jika virus ini alami tak akan mampu menyebar secara global. Sesuai karakternya, suhu berbeda di berbagai negara akan menghalangi penyebaran alami virus. Bagaimana ia mampu menyebar di Swiss yang dingin, namun mampu pula menyebar di gurun yang terik. Pendapatnya kian kuat, dengan tambahan, “Saya telah bekerja selama 4 tahun di laboratorium Wuhan, Cina. Saya kenal dengan para staf laboratorium, dan menelepon mereka, setelah merebaknya Corona. Tapi semua ponsel mereka mati. Sehingga dipahami, semua teknisi laboratorium itu, telah meninggal”<br />
<br />
Dalam pusaran teori alternatif, Indonesia tak ketinggalan. Beberapa orang ternama, seperti Mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari, Pesohor Deddy Corbuzier, drummer kelompok Superman is Dead, Jerinx, dan beberapa pihak lain turut mengajukan teori yang senada Prof Honjo. Spektrum pendapat mereka, mulai dari meragukan kealamian Covid-19 hingga menyebut wabah adalah promosi ketakutan belaka. Maka masuk dalam perangkap ketakutan, hanya membuat untung beberapa pihak.<br />
<br />
Secara sederhana, masyarakat menyebut teori atau narasi yang berkembang dan bertentangan dengan pernyataan arus utama, sebagai teori konspirasi. T Goertzel, 1994, dalam salah satu penjelasannya di Belief in Conspiracy Theories, menyebut konspirasi adalah teori untuk peristiwa atau situasi yang mengandung persekongkolan oleh aktor jahat dan kuat, yang tak jarang bermotif politis, ketika teori lain lebih memungkinkan. Sedangkan Cambridge Dictionary menyebut, konspirasi sebagai keyakinan bahwa suatu peristiwa atau situasi, merupakan hasil dari rencana rahasia yang dibuat oleh orang-orang yang berkuasa. Diurai dari strukturnya, teori konspirasi umumnya memuat penyataan yang mengandung adanya persekongkolan pihak-pihak yang punya kepentingan. Ia menunggangi memori kolektif masyarakat. Sehingga cukup mengandalkan logika dasar, teori dicerna dengan mudah. Ia mengandalkan logika dasar, tanpa perlu basis data lengkap, peralatan canggih, maupun metode yang telah teruji. Premis-premisnya sederhana. Digabung agar mudah diterima akal.<br />
<br />
Namun, lantaran antimainstream, mengandung persekongkolan dan strukturnya sederhana tak serta merta suatu pernyataan digolongkan teori konspirasi. Ini juga gegabah. Harus dipastikan dulu validas premis penyusunnya. Maka untuk pernyataan sekelas Prof Tasuku Honjo atau ilmuwan lainnya, masyarakat yang tak punya perangkat cukup untuk menerima atau menolak, boleh memosisikannya sebagai kebolehjadian. Boleh jadi benar, boleh jadi salah. Ini disimpan, sampai ada teori lain yang membantah pernyataan Prof Honjo, maupun ilmuwan pelontar lain.<br />
<br />
Hal yang pantas dipikirkan atas maraknya teori alternatif, yang kemudian disebut sebagai teori konspirasi, dan dikonsumsi lahap oleh masyarakat, dapat dibaca sebagai lelahnya masyarakat oleh tak kunjung diformulasikannya rumus tunggal, menghadang Covid-19. Ia hadir sebagai misteri yang melelahkan, sekaligus menakutkan. Masyarakat perlu relaksasi. Mereka mengalihkan perhatian pada teori alternatif yang mudah dicerna. Penerimaan terhadap teori alternatif, implisit juga menyatakan ketakberdayaan masyarakat. Tak berdaya akibat kuatnya persekongkolan pihak yang berkepentingan, dan konsumen teori konspirasi berharap pihak lain, termasuk pemerintah, melawan kekuatan itu.<br />
<br />
Apa yang bahaya dari keadaan ini ? Tak bisa ditarik satu pernyataan umum. Harus diperiksa pihak yang melontarkan teori alternatif ini. Jika yang melontarkan punya kredibilitas, masyarakat akan menerima teori tersebut seraya meyakininya. Manusia adalah mahluk yang bertindak berdasar persepsinya. Oleh persepsi ini, tak heran misalnya, muncul tuntutan meminta pemerintah melakukan penanganan yang sesuai isi teori. Tapi jika yang melontarkan adalah pihak yang secara kredibilitas dianggap meragukan, tak punya kecakapan memformulasi teori, tak punya data pendukung, hal yang dinyatakannya segera menguap dalam perbantahan di masyarakat. Pernyataan spekulatif patah oleh teori yang lebih kuat. Teori konspiratif dianggap sekedar hiburan kala pandemi, alih-alih untuk menaikan trafic media sosial.<br />
<br />
Dilemmanya, tak semua masyarakat paham soal kredibilitas pihak yang dianggap cakap membangun teori untuk menjelaskan. Ditambah lemahnya literasi konsumen pengetahuan di Indonesia, hanya membuat mereka makin terombang-ambing dalam wacana keraguan Covid-19. Ini melelahkan. Dan tak mustahil, malah menjatuhkan ke pilihan teori yang memberi kenyamanan, namun substansi pencegahannya justru diabaikan.<br />
<br />
Tak ada pilihan lain, menghadapi ini harus dilawan dengan menyodorkan fakta yang nyata di lapangan. Pada kenyataannya, banyak orang tertular, dan itu terjadi di seluruh dunia. Bahkan yang tertular dan meninggal beruntun, para dokter maupun perawat yang berpengalaman menghadapi berbagai penyakit. Demikian juga jika disebut penyakit lain lebih berbahaya, dan bahaya Covid-19 akibat propaganda ketakutan belaka. Pada kenyataannya, aids, tbc, ebola tak menyebar seluas ini dan menimbulkan kematian dalam waktu singkat. Jadi berspekulasi dengan teori yang belum terbukti benar, adalah tindakan yang berbahaya. Daripada terlibat dengan teori alternatif yang spekulatif, lebih baik patuh pada protokol pencegahan penularan. Karena resiko yang menghadang nyata (eko)<br />
<br />
Link Sindonews / https://nasional.sindonews.com/read/13089/18/teori-konspirasi-dan-relaksasi-kelelahan-massa-1588251852Phaul Hegerhttp://www.blogger.com/profile/11849891513433886497noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-1632825501638395157.post-19344991755788080932020-04-05T07:43:00.003-07:002020-04-05T07:43:50.986-07:00Menangkap Perasaan Generasi Baru Negeri Matahari TerbitKetika peradaban manusia berganti, Negara Jepang terus berbenah diri. Tokyo, adalah satu tempat, dimana anda bisa menangkap perasaan generasi baru Negeri Matahari Terbit ini. Bagi pelancong yang sudah pernah berkunjung ke negara Jepang, tentu dia akan kembali memutar ulang ingatannya tentang Negeri Berbunga Sakura tersebut.<br />
<br />
Apalagi, pelancong itu pernah hadir ditengah musim semi, pastinya dia akan disuguhi banyaknya bunga sakura bermekaran memenuhi setiap ranting pepohonan, sedangkan bagi orang belum menancapkan kaki di jepang, ia cukup mengenali melalui gunung Fujiama, pemain sumo, perempuan berkimono yang tersenyum di tengah ladang, tambur besar dengan lelaki penabuhnya yang berikat kepala putih dihiasi bulatan merah, semacam bendera Dai Nippon. Lalu topeng-topeng di kuil Shinto, gambar-gambar ini sering tercetak pada sebuah buletin kebudayaan, menyajikan Jepang yang eksotis, mistis, sekaligus modern.<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhSHh0KRw3mQRNx2R_GXtLDqvFTD3KuD4S8R1RZ3oaXO6EH7k4mnAtuiVYs50TdirXo94OKt9NW5mendiQUwSBa-X5Y5yIyxf7kJSEXX3N4vUYmu8sSrE9bxw8uUqps-BLz-G3YVQnCh-Ar/s1600/Gadis+Jepang+Memakai+Busana+Kimono.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="473" data-original-width="840" height="360" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhSHh0KRw3mQRNx2R_GXtLDqvFTD3KuD4S8R1RZ3oaXO6EH7k4mnAtuiVYs50TdirXo94OKt9NW5mendiQUwSBa-X5Y5yIyxf7kJSEXX3N4vUYmu8sSrE9bxw8uUqps-BLz-G3YVQnCh-Ar/s640/Gadis+Jepang+Memakai+Busana+Kimono.jpg" width="640" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Gadis Jepang Memakai Busana Kimono</td></tr>
</tbody></table>
<br />
Selain itu, anda juga dapat mengetahui jepang lewat film-film dahsyat seperti Akira Kurosawa, novel-novel Yukio Mishima, kemudian bercampur sedikit dengan imaji para gadis Jepang di berbagai film dewasa kontemporer yang memenuhi negeri tersebut.<br />
<br />
Disamping itu, anda juga bisa menyimak penduduk jepang di berbagai tayangan YouTube seperti, orang-orang Jepang berjalan tertumpah ruah diatas ruas jalan, para perempuan bergerak gesit. Rambut mereka kerap disemir coklat, kuning, putih abu-abu, biru, dan separuh merah. Sebuah alternatif yang manis di tengah kepungan kesibukan. Meskipun, Topan Hagibis sering melanda Tokyo.<br />
<br />
Seturut topan berlalu, orang keluar berhamburan, Mereka mirip kawanan semut yang keluar dari sarang, hal itu dapat anda dilihat pada Stasiun Shinagawa, mereka bergegas menuruni tangga, dan berjalan meniti lorong stasiun, dan bayangkanlah dari pintu lobang sarang itu keluar ribuan manusia lalu mereka tumpah di sebuah aula besar stasiun. Dengan berbagai kepentingan, dan mungkin harapan. Entah hendak pulang, atau melanjutkan perjalanan ke stasiun lain. Sebuah keramaian khas megapolitan. Manusia melenyap dalam arus massa.<br />
<br />
Begitupun di setiap perempatan lampu merah, manusia berjejal, tentunya, mereka adalah para pejalan kaki yang tangguh, menunggu lampu hijau untuk bersiap melakukan penyebarangan. Di tengah perempatan jalan, anda akan disuguhkan dengan orang yang berlalu lalang, hampir sebagian besar wajah-wajah mereka tampak begitu telanjang, lantas itu kita pun tergiang, teringat cerita pendek Haruki Murakami “On Seeing the 100% Perfect Girl One Beautiful April Morning”, sang tokoh tak sengaja berpapasan dengan seorang perempuan yang disangkanya sebagai jodoh yang tepat buatnya.<br />
<br />
Perjumpaan yang sangat singkat, si tokoh melintas dan dia beradu pandang dengan seorang perempuan di sebuah perempatan. Dia dari arah barat, dan si gadis dari arah timur. Dia merasa jantungnya berdebar persis saat mereka beradu pandang, meski perempuan itu tak begitu cantik dan dia juga tak begitu tampan, tapi dia merasa gadis itu seratus persen cocok untuknya. Tapi dia tak menyapanya, meskipun ingin, akhirnya lewat begitu saja. Selebihnya hanya angan-angan yang tak pernah sampai.<br />
<br />
Cerpen itu adalah potret jitu generasi baru Jepang yang pemalu, dan banyak yang menunda kawin karena teserap oleh derap megapolitan yang kapitalistik. Hidup terasa amat menekan. Apartemen mahal, juga pajak dan ongkos hidup yang terus naik. Kehidupan penuh persaingan, dan itu menyisakan aneka masalah neurotik tentang kompleksitas hubungan percintaan laki dan perempuan, terutama jika mereka hendak menikah. Lalu perasaan kesepian menyergap banyak orang. (RS)<br />
<br />
Link: <a href="https://jagapapua.com/article/detail/2206/menangkap-perasaan-generasi-baru-negeri-matahari-terbit" target="_blank">JP</a>Phaul Hegerhttp://www.blogger.com/profile/11849891513433886497noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-1632825501638395157.post-9382664604016904622020-04-03T19:47:00.001-07:002020-04-03T19:47:41.933-07:00Human Idea<b><i>Model Pengelolaan Karyawan Generasi Now pada Era Industri 4.0.</i></b><br />
<br />
Penulis: <b>Pramudianto</b><br />
<br />
Tantangan terbesar bagi orang-orang yang berkecimpung dalam dunia sumber daya manusia saat ini adalah budaya perusahaan, teknologi, dan inovasi. Era industri 4.0 dan jumlah penduduk usia produktif terbesar di dunia pada 2025-2030 sangat memengaruhi pengelolaan sumber daya manusia Indonesia.<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhI7S3o06IRl7u86O_oHu8nF5lHE9uGd8Xwv6vyE6YAeOXX0mg_02VCOSbU1buSuSZOUKY_8SzYeSezit2P24rgIBn_Ua33VvWyFvr_Lq81tvp_OrAwuSUo3w9JN7UowOvEF6ulAy8jdOo5/s1600/Pramudianto.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="400" data-original-width="600" height="426" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhI7S3o06IRl7u86O_oHu8nF5lHE9uGd8Xwv6vyE6YAeOXX0mg_02VCOSbU1buSuSZOUKY_8SzYeSezit2P24rgIBn_Ua33VvWyFvr_Lq81tvp_OrAwuSUo3w9JN7UowOvEF6ulAy8jdOo5/s640/Pramudianto.jpg" width="640" /></a></div>
<br />
Oleh karena itu, setidaknya ada empat hal yang penting diperhatikan. Pertama, mempersiapkan angkatan muda generasi now dapat memasuki dunia kerja sesuai kebutuhan perusahaan yang lebih fokus pada inovasi dan teknologi (Pricewaterhouse Coopers mengingatkan bahwa generasi milenial membutuhkan inovasi, kolaborasi, dan teknologi)<br />
<br />
Kedua, adanya gap generasi yang cukup besar antara generasi X (bahkan baby boomers) dengan generasi now, khususnya dalam masalah budaya. Sehingga diperlukan penghubung atau jembatan untuk dapat mempertemukan mereka dalam dunia kerja agar terjadi kolaborasi yang mampu mendongkrak kinerja.<br />
<br />
Tiga, membangun relasi dengan departemen lain untuk menjadi partner mencapai tujuan perusahaan.<br />
<br />
Empat, perlu disesuaikan kurikulum pelatihan atau cara-cara pengembangan karyawan agar memiliki multitalenta, sehingga mampu meningkatkan kinerja.<br />
<br />
McKinsey mengingatkan, ada tiga hal penting yang perlu diwaspadai, yaitu: Jobs Lost, Jobs Gained dan Jobs Changed, dampak dari otomasi di perusahaan-perusahaan ke depan.<br />
<br />
<b>VUCA</b><br />
<br />
Dalam situasi lingkungan VUCA (Vibrant, Ubiquitous, Collaborative, and Agile) para pemimpin dituntut untuk memiliki kejelasan visi jangka panjang, namun fleksibel dan adaptif dengan durasi tempo respon yang pendek.<br />
<br />
Vibrant sering diartikan sebagai getaran jika kita mempelajari ilmu musik, namun juga bisa diartikan semangat. Vibrant mengajak pemimpin siap menghadapi perubahan zaman yang cepat dan bahkan secepat dan tidak kelihatan gerakannya seperti air atau bensin yang menguap.<br />
<br />
Ubiquitous bermakna ”ada di mana-mana” dan merupakan sinonim dari kata omnipresent. Ubiquitous (baca: Yubikitas) adalah sebuah teknologi baru yang memudahkan user dan dapat melakukan segala sesuatu seperti yang keinginan user. Teknologi menjadi jawaban atas tantangan ke depan, cukup dengan smartphone, kita bisa melakukan banyak hal berkait bisnis dan learning.<br />
<br />
Collaborative alias bekerjasama, saling bersinergi, menyatukan potensi kita dengan potensi orang lain demi tujuan tertentu. Kolaborasi yang baik akan terbangun dari sekumpulan orang mandiri yang menyadari bahwa mereka tidak akan mungkin hidup tanpa bersinergi. Ciri-ciri orang kolaboratif adalah menghargai setiap perbedaan dan bekerja sama mencapai tujuan. Aspek yang berbeda memberikan berbagai alternatife solusi dan kontribusi maksimal.<br />
<br />
Agile, sering diartikan tangkas atau lincah. Ini mengingatkan saya dengan kisah Daud mengalahkan Goliat. Duel yang tidak seimbang, namun dimenangkan oleh orang yang tidak diperhitungkan. Menurut Galdwell, kemenangan Daud merupakan keniscayaan. Bagaimana tidak? Daud lincah dan cepat, sedangkan Goliat demikian lamban, lantaran dibebani berat tubuh, baju, serta senjata. Daud prajurit pelontar (jarak jauh), Goliat prajurit infantri (jalan kaki). Senjata Goliat primitif, sedangkan senjata Daud jauh lebih modern—prototipe sebuah senapan. Agility atau kelincahan adalah kemampuan seseorang untuk dapat mengubah arah dengan cepat dan tepat pada waktu bergerak tanpa kehilangan keseimbangan. Kelincahan ini berkaitan erat dengan kecepatan dan kelenturan.<br />
<br />
Pengelolaan sumber daya manusia generasi now pada era industri 4.0 dan dalam lingkungan VUCA perlu memperhatikan perangkat yang berkaitan dengan budaya, teknologi, dan inovasi.<br />
<br />
<b>Human Idea</b><br />
<br />
Dalam dunia pengelolaan sumber daya manusia, awalnya kita mengenal HR Administration, HR Practice, HR Strategic, Human Capital, Digital HR, dan saat ini telah berkembang menjadi HUMAN IDEA.<br />
<br />
Human Idea sebagai model pengelolaan sumber daya manusia berawal dari dunia Pendidikan yang dihebohkan dengan kurikulum 2013 dimana saat ujian menggunakan soal dengan model HOTS.<br />
<br />
Menurut Lorin Anderson, David Krathwohl, dkk. urutan HOTS adalah (1) mengingat (remember); (2) memahami (understand); (3) mengaplikasikan (apply); (4) menganalisis (analyze); (5) mengevaluasi (evaluate); dan (6) mencipta (create). Tingkatan 1 hingga 3, dikategorikan sebagai kemampuan berpikir tingkat rendah (LOTS). Sedangkan butir 4 sampai 6 dikategorikan sebagai kemampuan berpikir tingkat tinggi (HOTS).<br />
<br />
Jika dikaitkan dengan benih dalam ”Perumpaman tentang Seorang Penabur”, bisa dijelaskan demikian. Mengingat diumpamakan benih yang jatuh di pinggir jalan, bagaikan orang yang mendengar, namun banyak yang dipikirkan, sehingga yang didengarnya sekejap dilupakan.<br />
<br />
Memahami seperti benih jatuh di tanah yang berbatu-batu; orang yang setelah mendengar dengan baik, menerimanya dengan gembira, tetapi apa yang mereka dengar tidak berakar, mereka percaya sebentar. Namun, ketika galau apa yang didengar tidak dipercaya lagi.<br />
<br />
Mengaplikasikan bagai benih yang jatuh dalam semak duri; orang yang telah mendengar dengan baik, dan dalam pertumbuhan selanjutnya mereka terimpit oleh kekuatiran, kekayaan dan kenikmatan hidup, sehingga mereka tidak menghasilkan buah yang matang.<br />
<br />
Sedangkan untuk menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta yang dikategorikan sebagai kemampuan berpikir tingkat tinggi bagaikan benih yang jatuh di tanah yang baik. Orang yang setelah mendengar, menyimpannya dalam hati, dan mengeluarkan buah dalam ketekunan. Ketika benih itu jatuh pada tanah yang baik, terdapat ungkapan, sekaligus pengakuan, ”Aku menanam, Apolos menyiram, tetapi Tuhan yang memberi pertumbuhan.”<br />
<br />
Human Idea menggunakan prinsip-prinsip dunia pertanian.<br />
<br />
1. Menanam, proses ini sangat penting dengan mempertimbangkan empat faktor. Pertama, penyediaan lahan, artinya menyediakan budaya baru yaitu budaya feedback, keterbukaan dan kolaborasi agar terjadi sinergi dan kinerja tinggi antara karyawan baru (generasi now) dan yang lama (gen X atau baby boomers). Kedua, benih. Tidak semua generasi now adalah benih yang baik, sehingga memilih calon karyawan menjadi sesuatu yang sangat penting untuk kesinambungan bisnis. Ketiga, menanam membutuhkan waktu yang tepat, momentum rekrutmen harus diselaraskan dengan kegiatan bisnis. Keempat, menempatkan benih harus tepat pada lahan yang sudah dipersiapkan, demikian juga menempatkan karyawan baru harus dengan coach yang tepat.<br />
<br />
2. Menyiram, ketika seluruh karyawan beraktivitas dan berkinerja tinggi, perusahaan memberikan peluang dan memfasilitasi mereka untuk mengeksplorasi diri, untuk menemukan terobosan-terobosan pengetahuan. Saatnya meninggalkan Knowledge Workers menuju Learning Workers.<br />
<br />
3. Memberi Pertumbuhan, sinar matahari dan air menjadi faktor penting bagi suatu pertumbuhan, seorang pemimpin memiliki peran penting bagi karyawan dalam hal: a. Membangun suasana kantor yang menyenangkan sehingga bisa memicu ide-ide kreatif, b. Mampu mengeksplorasi pikiran tim dari ide-ide kreatif menjadi inovasi baru, c. Mengaktualisasi inovasi menjadi produk atau jasa yang sukses bagi perusahaan.<br />
<br />
Dalam sudut pandang Human Idea, karyawan merupakan pencipta dan pelaku perubahan, dan memfokuskan pada mengeksplorasi dan menyelaraskan nilai yang ada dalam diri karyawan dan perusahaan untuk menghadapi perubahan, sehingga muncul inovasi baru agar tujuan tercapai. Hasil yang didapat mampu menyajikan inovasi baru sejalan dengan visi, misi dan nilai-nilai perusahaan.<br />
<br />
<br />
Pramudianto (HR Consultant, Author, Speaker & Coach)<br />
<i>Link: http://www.satuharapan.com/read-detail/read/human-idea</i>Phaul Hegerhttp://www.blogger.com/profile/11849891513433886497noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-1632825501638395157.post-58309722943084668512019-12-13T18:40:00.001-08:002019-12-13T18:40:27.571-08:00Mematahkan Mitos NEM, IPK dan RangkingOleh : *Prof Agus Budiyono*<br />
<br />
Ada 3 hal ternyata tdk terlalu berpengaruh terhadap *kesuksesan* yaitu: *NEM, IPK dan rangking*<br />
<br />
Saya mengarungi pendidikan selama 22 tahun (1 tahun TK, 6 tahun SD, 6 tahun SMP-SMA, 4 tahun S1, 5 tahun S2 & S3)<br />
<br />
Kemudian saya mengajar selama 15 tahun di universitas di 3 negara maju (AS, Korsel, Australia) dan juga di tanah air.<br />
<br />
Saya menjadi saksi betapa *tidak relevannya ketiga konsep di atas* terhadap kesuksesan.<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjhTM0hpzyBcpJ3m9AX_oxekvTlGIzFsRaQNoM-xJByW7gBb5Rae1fB_GhkzQvkBWGoPXsq_xMEjWcG7dLE6Dm_ErHKX8ljSvA5eShpTyI4uYW4ARxIF9bPlLwJv9mMR2xSWJFJthUQhpDn/s1600/book.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="452" data-original-width="679" height="426" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjhTM0hpzyBcpJ3m9AX_oxekvTlGIzFsRaQNoM-xJByW7gBb5Rae1fB_GhkzQvkBWGoPXsq_xMEjWcG7dLE6Dm_ErHKX8ljSvA5eShpTyI4uYW4ARxIF9bPlLwJv9mMR2xSWJFJthUQhpDn/s640/book.jpg" width="640" /></a></div>
Ternyata sinyalemen saya ini didukung oleh riset yang dilakukan oleh *Thomas J. Stanley* yang memetakan 100 faktor yang berpengaruh terhadap *tingkat kesuksesan seseorang berdasarkan survey terhadap 733 millioner di US*<br />
<br />
Hasil penelitiannya ternyata nilai yang baik (yakni NEM, IPK dan rangking) *hanyalah faktor sukses urutan ke 30*<br />
<br />
*Sementara faktor IQ pada urutan ke-21*<br />
<br />
*Dan bersekolah di universitas/sekolah favorit di urutan ke-23.*<br />
<br />
Jadi saya ingin mengatakan secara sederhana: Anak anda nilai raport nya rendah *Tidak masalah.*<br />
<br />
NEM anak anda tidak begitu besar?<br />
Paling banter akibatnya tidak bisa masuk sekolah favorit.<br />
<br />
*Yang menurut hasil riset, tidak terlalu pengaruh thdp kesuksesan*<br />
<br />
*Lalu apa faktor yang menentukan kesuksesan seseorang itu ?*<br />
<br />
Menurut riset Stanley berikut ini adalah *sepuluh faktor teratas yang akan mempengaruhi kesuksesan* :<br />
<br />
1. Kejujuran (Being honest with all people)<br />
<br />
2. Disiplin keras (Being well-disciplined)<br />
<br />
3. Mudah bergaul (Getting along with people)<br />
<br />
4. Dukungan pendamping (Having a supportive spouse)<br />
<br />
5. Kerja keras (Working harder than most people)<br />
<br />
6. Kecintaan pada yang dikerjakan (Loving my career/business)<br />
<br />
7. Kepemimpinan (Having strong leadership qualities)<br />
<br />
8. Kepribadian kompetitif (Having a very competitive spirit/personality)<br />
<br />
9. Hidup teratur (Being very well-organized)<br />
<br />
10. Kemampuan menjual ide (Having an ability to sell my ideas/products)<br />
<br />
Hampir kesemua faktor ini tidak terjangkau dengan NEM dan IPK.<br />
<br />
Dalam kurikulum semua ini kita kategorikan *softskill.*<br />
Biasanya peserta didik memperolehnya dari kegiatan ekstra-kurikuler.<br />
<br />
✊✊✊✊✊✊✊✊<br />
Mengejar kecerdasan akademik semata hanya akan menjerumuskan diri.<br />
<br />
Semoga bermanfaat yaPhaul Hegerhttp://www.blogger.com/profile/11849891513433886497noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-1632825501638395157.post-27938951576752172892019-10-08T07:15:00.000-07:002019-10-08T07:15:47.195-07:00Bambang Soesatyo: Pemerintah Baru dan Urgensi Memetakan Masalah <div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEifMIALVsftz17Wbo8iewnvNeJmkiao3fYpLRAcHOPWfSTC7X6vYveiEQY8KCx0YdYAqtm5i__KYO1mG9gs-zT0hwAfn13Dnuy2B_u_TstScAqleMpk9MpEJ7wBS_u30ASuZ2xzGwMGAO7i/s1600/ketua+mpr.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="500" data-original-width="750" height="426" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEifMIALVsftz17Wbo8iewnvNeJmkiao3fYpLRAcHOPWfSTC7X6vYveiEQY8KCx0YdYAqtm5i__KYO1mG9gs-zT0hwAfn13Dnuy2B_u_TstScAqleMpk9MpEJ7wBS_u30ASuZ2xzGwMGAO7i/s640/ketua+mpr.jpg" width="640" /></a></div>
<b>Bambang Soesatyo</b><br />
<i>Ketua MPR RI/Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia</i><br />
<br />
MENJELANG hadirnya pemerintahan baru yang akan kembali dipimpin Presiden terpilih Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin, beberapa persoalan strategis di bidang sosial-politik kembali mengemuka. Sejumlah aspirasi yang dimunculkan melalui rangkaian unjuk rasa dan peristiwa rusuh di Papua itu layak dimaknai sebagai masukkan bagi pemerintah baru, termasuk masukkan bagi DPR, MPR, dan DPD RI masa bakti lima tahun ke depan. Ada urgensi untuk bersama-sama memetakan masalah dan mencari solusi.<br />
<br />
Sepanjang Agustus hingga pengujung September 2019, ragam persoalan sosial-politik mengemuka di ruang publik dan semua persoalan itu harus ditanggapi, baik oleh pemerintah maupun DPR dan juga institusi penegak hukum. Ketika pemerintah dan penegak hukum coba meredakan kerusuhan di sejumlah kota di Papua, di Riau terjadi eskalasi kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Karena ekses karhutla itu sudah sangat serius, pemerintah dan penegak hukum pun harus all out mengatasi persoalan ini. Belum tuntas penanganan karhutla di Riau, Jakarta dan beberapa kota lainnya di Jawa dilanda unjuk rasa sejumlah elemen masyarakat yang menyoal muatan RUU KUHP dan RUU KPK.<br />
<br />
Rentetan persoalan itu mengemuka ketika Presiden Joko Widodo sedang menggodok formasi anggota kabinet baru untuk masa bakti 2019–2024 dan juga ketika DPR RI sedang memproses penggantian ketua DPR dan para wakil ketua DPR. Dengan begitu, sejumlah aspirasi yang disuarakan publik dari rangkaian peristiwa itu bisa diterima sebagai masukkan bagi pemerintah baru dan masukan bagi DPR, MPR, serta DPD RI masa bakti lima tahun ke depan. Harus ada inisiatif bersama antara pemerintah dan parlemen untuk memetakan persoalan-persoalan itu dengan lebih rinci, untuk kemudian mencari solusi terbaik.<br />
<br />
Karena nyaris menjadi rutinitas setiap tahunnya, penanganan kasus karhutla mestinya tidak lagi fokus menyoal penyebab dan para terduga pelaku. Tindak lanjutnya harus digeser ke masalah pencegahan. Diyakini bahwa strategi serta upaya pencegahan sudah ada dan sudah dipraktikkan. Namun, jika karhutla selalu terjadi setiap tahunnya, tentu harus dipersoalkan adalah efektivitas strategi pencegahan itu. Untuk meningkatkan efektivitas strategi pencegahan karhutla, ketua DPR sempat menyarankan agar Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) membentuk gugus tugas pada tingkat daerah yang tugas pokok serta fungsi (tupoksi)-nya mengupayakan langkah dan tindakan preventif mencegah karhutla untuk alasan apapun. Mudah-mudahan, pada tahun-tahun mendatang, karhutla bisa dicegah.<br />
<br />
Perhatian lebih sungguh-sungguh patut diberikan pada persoalan Papua dan juga sikap sejumlah elemen masyarakat yang mempersoalkan esensi RUU KUHP dan RUU KPK. Sebagaimana dicatat bersama, kedua isu ini memicu gelombang unjuk rasa dan kerusuhan di sejumlah tempat. Berbeda dengan aparat keamanan dan para intelijen yang mungkin sudah bisa memprediksi, gelombang unjuk rasa dan kerusuhan akibat dua masalah ini cukup mengejutkan bagi masyarakat kebanyakan. Terutama pada skala peristiwa karena unjuk rasa terjadi di sejumlah kota dan sangat anarkis. Ada kecenderungan unjuk rasa itu tidak lagi murni unjuk rasa. Konon ada pihak yang bermain dan mengail di air keruh.<br />
<br />
Rangkaian peristiwa di Papua sepanjang Agustus–September 2019 memberi penjelasan kepada semua pihak bahwa persoalan Papua kini menjadi isu sangat sensitif. Peristiwa penangkapan sejumlah mahasiswa asal Papua oleh pihak berwenang di beberapa tempat di Jawa Timur pada 17 Agustus 2019, menjadi sumbu pemicu yang membuat tanah Papua bergolak. Merespons peristiwa penangkapan itu, bahkan orang muda Papua di sejumlah kota pun menggelar unjuk rasa. Sejumlah kelompok orang yang bergerak dari luar untuk memperjuangkan kemerdekaan Papua memanfaatkan situasi itu memprovokasi masyarakat setempat. Memang, soal kemerdekaan Papua sempat disuarakan peserta unjuk rasa. Banyak kalangan prihatin karena hal itu menunjukkan ada orang muda Papua masih menolak menjadi bagian dari warga bangsa Indonesia. <br />
<br />
<b>Komunikatif</b><br />
<br />
Fakta peristiwa di Papua itu mendorong semua pihak untuk melihat ke belakang. Ada sejumlah persoalan masa lalu yang belum diselesaikan sebagaimana mestinya, terutama masalah pelanggaran HAM. Selain itu, kebanyakan warga Papua juga merasa tidak nyaman dengan pendekatan keamanan yang diterapkan negara di tanah Papua. Khusus masalah Papua inilah masukkan yang hendaknya digarisbawahi oleh pemerintah baru bersama DPR, MPR, dan DPD RI. Masyarakat Papua memang bersyukur karena pemerintahan Presiden Joko Widodo telah berupaya melengkapi tanah Papua dengan ragam infrastruktur selama lima tahun terakhir. Namun, pendekatan pembangunan seperti itu ternyata belum mampu menyembuhkan luka lama yang dialami sebagian warga Papua.<br />
<br />
Untuk lebih mempererat ikatan persaudaraan satu bangsa-satu Tanah Air Indonesia, pemerintah bersama DPR, MPR, dan DPD perlu mencari pendekatan atau rumusan baru penyelesaian masalah Papua. Salah satu solusi jangka pendek adalah segera mewujudkan dialog. Dialog dari hati ke hati itu sebaiknya menghadirkan tujuh wilayah budaya meliputi Mamta/Tabi, Seireri, Bomberai, Doberai, Meepago, Haanim, dan Lapago. Masyarakat Papua saat ini butuh kehadiran negara dan pemerintah untuk menyentuh hati mereka sebagai sesama anak bangsa. Jangan lupa bahwa hati sebagian warga Papua masih terluka karena merasa martabatnya direndahkan.<br />
<br />
Selain isu Papua, pesan atau masukkan lain yang bisa dibaca dari rangkaian unjuk rasa menyoal RUU KUHP dan RUU KPK adalah tinggi rendahnya framing kepercayaan sebagian masyarakat pada pemerintah dan DPR. Apakah sungguh-sungguh tidak percaya atau ketidakpercayaan yang sengaja dibuat-buat untuk memperjuangkan kepentingan kelompok, ini bisa diperdebatkan. Akan tetapi, sudah menjadi fakta yang lama bahwa setiap upaya pemerintah dan DPR menguatkan KPK selalu direspons dengan persepsi sebaliknya, bahwa pemerintah dan DPR ingin melemahkan KPK. Mengapa kecenderungan seperti ini bisa terjadi secara berulang-ulang?<br />
<br />
Setidaknya, dalam kasus inisiatif memperkuat KPK yang selalu menghadapi halangan itu, bisa dilihat bahwa ada urgensinya untuk memetakan masalah. Tentu saja berangkat dari pertanyaan: mengapa sebagian publik tidak pernah mau percaya dengan niat baik pemerintah-DPR memperkuat KPK? Apakah karena minimnya sosialisasi atau komunikasi dengan publik? Atau ada kekuatan lain yang menggalang opini agar sebagian masyarakat jangan percaya pada pemerintah dan DPR? Tidak berlebihan untuk mengungkapkan bahwa dalam beberapa inisiatif terdahulu untuk memperkuat KPK, pemerintah dan DPR selalu dikalahkan oleh opini yang dikembangkan beberapa kelompok sehingga upaya menguatkan dan memperbaiki KPK tak pernah terwujud sampai saat ini.<br />
<br />
Seperti halnya saran menyelenggarakan dialog dengan semua elemen warga Papua, pemerintah dan DPR pun hendaknya segera berinisiatif untuk berkomunikasi dan menyosialisasikan urgensi penguatan KPK dengan berbagai elemen masyarakat, termasuk kampus-kampus perguruan tinggi. Sebab, lazimnya, dari komunikasi dua arah itu, akan terbangun semangat saling percaya.(wib)<br />
<br />
<i>Sumber: https://nasional.sindonews.com/read/1446238/18/pemerintah-baru-dan-urgensi-memetakan-masalah-1570401239</i>Phaul Hegerhttp://www.blogger.com/profile/11849891513433886497noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-1632825501638395157.post-30851434549056905662019-08-15T21:18:00.001-07:002019-08-15T21:18:58.497-07:00Setelah 74 Tahun Merdeka; Banyak Catatan<b>Banyak Catatan Setelah 74 Tahun Merdeka</b><br />
<br />
Banyak sudah pencapaian kita sebagai bangsa setelah merdeka 74 thun lalu. Namun demikian, sangat banyak persoalan besar yang masih harus ditangani dan dicarikan solusinya agar seluruh bangsa mampu menikmati arti kemerdekaan dengan sepenuhnya.<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiNj7oDO2JpwWx3mIsp8l1kKY6UAIuKMA2Kglcm4ausEn9XJOZh6iIAHzuEOlwWjgupTqhy6XUSvIHEyfQVm9hlPVZMSpCK-tkMG4z4HF6n0T6gJVWmVETOTiAo6p6B8IphiIIRq9hjG5gU/s1600/indon.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="498" data-original-width="830" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiNj7oDO2JpwWx3mIsp8l1kKY6UAIuKMA2Kglcm4ausEn9XJOZh6iIAHzuEOlwWjgupTqhy6XUSvIHEyfQVm9hlPVZMSpCK-tkMG4z4HF6n0T6gJVWmVETOTiAo6p6B8IphiIIRq9hjG5gU/s400/indon.jpg" width="400" /></a></div>
Menyambut perayaan kemerdekaan RI ke-74, kita perlu merenung dan melakukan introspeksi. Apakah langkah yang ditempuh selama ini sesuai dan sepadan dengan jerih payah para founding fathers yang mengorbankan jiwa raga mereka demi kemerdekaan ini?<br />
<br />
Secara fisik pencapaian kita selama 74 tahun sudah sangat jauh. Indonesia jauh lebih maju dibandingkan masa-masa sebelum kemerdekaan. Kita bukan lagi negara miskin yang selalu kekurangan pangan dan terlanda wabah penyakit. Kita telah mampu membebaskan sebagian besar rakyat dari kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan, meski masih banyak pula yang masih tertinggal dan membutuhkan perhatian.<br />
<br />
Indonesia juga dihormati dalam pergaulan dunia, bahkan beberapa kali menempatkan diri sebagai pemimpin diantara bangsa-bangsa yang lain. Kita pernah mendirikan dan memimpin Gerakan Non Blok, menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika, mendirikan dan memimpin ASEAN, juga banyak forum internasional lainnya.<br />
<br />
Saat ini Indonesia juga dihormati sebagai negara berkembang dengan populasi muslim terbesar di dunia yang berkomitmen menjalankan prinsip-prinsip demokrasi. Kita mampu menyelenggarakan pemilu serentak dengan lancar tanpa kekacauan yang berarti. Bahkan pemilihan langsung telah diselenggarakan untuk memilih pemimpin di tingkat provinsi dan kabupaten/kota secara demokratis.<br />
<br />
Dengan demikian, dilihat dari aspek politik, sudah banyak sekali kemajuan yang kita capai setelah kemerdekaan tahun 1945. Bangsa Indonesia telah menunjukkan kepada dunia mampu mengatur diri sendiri, bahkan menunjukkan prestasi yang membanggakan di kancah pergaulan internasional.<br />
<br />
Namun demikian ada beberapa catatan yang harus menjadi perhatian ke depan agar perjalanan kita sebagai bangsa dan Negara bisa lebih kuat dan mampu melaju lebih kencang lagi.<br />
<br />
Pertama, kemiskinan masih menjadi problem besar dan ketimpangan pendapatan sangat tinggi. Jumlah penduduk miskin yang oleh pemerintah diklaim tinggal 9,7% adalah hasil dari pengukuran yang kurang berbobot. Ukuran yang dipakai masih terlalu rendah, yaitu pengeluaran sekitar Rp 10.000 per hari. Padahal ukuran Bank Dunia untuk Negara-negara berkembang adalah US$2 per hari atau sekitar Rp 28.500. Kalau kita jujur menggunakan ukuran Bank Dunia, jumlah penduduk miskin bisa 20% lebih.<br />
<br />
Kedua, Kebocoran anggaran sangat tinggi sehingga efisiensi rendah. Hal ini bisa dilihat dari ICOR (incremental capital-output ratio) Indonesia yang tinggi, yaitu di atas 6. Padahal, rata-rata ICOR di Negara-negara Asia Tenggara hanya berkisar 3-4. Mengenai tingginya kebocoran anggaran terlihat dari banyaknya pejabat pemerintah, juga pejabat Negara, yang terjerat sanksi hukum karena melakukan korupsi.<br />
<br />
Ketiga, mutu SDM masih rendah. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyoroti hal ini karena besar pengaruhnya terhadap percepatan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan Indonesia, katanya, sulit terpacu tinggi lantaran produktivitas sumber daya manusia (SDM) masih rendah. “Sudah hampir 10 tahun kita berkomitmen menganggarkan 20% APBN untuk pendidikan tapi hasilnya belum juga maksimal. Ini terlihat dari skor Program for International Student Assessment (PISA) yang belum setinggi negara-negara lain,” kata Sri Mulyani, Jumat (9/8).<br />
<br />
Keempat, kepastian hukum belum baik. Penegakan hukum masih sering dikritik sebagai “tajam ke bawah dan tumpul keatas”. Ini bisa dilihat dalam berbagai kasus yang memperlihatkan penegakan hukum belum sepenuhnya dijalankan pemerintah sesuai prinsip “semua warga Negara sama di depan hukum”. Rendahnya mutu penegakan hukum tersebut mempengaruhi kepastian hukum, yang berdampak luas.<br />
<br />
Kelima, konflik ideologis. Hingga saat ini, setelah 74 tahun RI merdeka, benturan ideologi masih terus berlangsung. Seharusnya masalah ini sudah selesai sehingga kita bisa bersama-sama dan bahu membahu membangun bangsa demi kemajuan seluruh rakyat Indonesia.<br />
<br />
Masalah-masalah tersebut sangat penting untuk memperoleh perhatian serius. Bukan hanya oleh pemerintah, melainkan seluruh komponen bangsa. Bila para founding fathers mencita-citakan kemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat, hingga kini belumlah tercapai. Bila kita tidak ingin mengkhianati perjuangan mereka, maka menjadi tanggungjawab kita agar masalah-masalah tersebut tidak diabaikan, apalagi dikesampingkan.<br />
<br />
Maka, kita perlu merenung dan mengevaluasi diri dalam merayakan kemerdekaan RI ke-74 ini. Ternyata banyak masalah yang masih harus dihadapi dan diselesaikan agar kita sebagai bangsa mampu menatap ke depan dengan kepala tegak untuk memenangkan persaingan dengan bangsa-bangsa lain.<br />
<br />
Sumber Berita:Berbagai sumber<br />
http://www.sinarharapan.coPhaul Hegerhttp://www.blogger.com/profile/11849891513433886497noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-1632825501638395157.post-61509217787054129842019-06-14T15:02:00.000-07:002019-06-14T15:02:14.233-07:00Idul Rishan: Arus Balik Demokrasi<b>Idul Rishan</b><br />
<i>Pengajar Hukum Konstitusi pada Universitas Islam Indonesia</i><br />
<br />
ADA semacam persepsi yang menguat bahwa wajah demokrasi dunia semakin berjalan mundur. Para ilmuan ternama mengidentifikasi gejala kemunduran ini sebagai “arus balik demokrasi”. Ini kondisi di mana sebuah negara demokratis kembali terjebak pada rezim otoriter.<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://cdn.sindonews.net/webp/620/content/2019/06/14/18/1411464/arus-balik-demokrasi-TwG.webp" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="413" data-original-width="620" height="426" src="https://cdn.sindonews.net/webp/620/content/2019/06/14/18/1411464/arus-balik-demokrasi-TwG.webp" width="640" /></a></div>
Entah disengaja atau tidak, persepsi ini dilekatkan pada rezim pemerintahan saat ini. Sebagian kalangan masyarakat pun membenarkan bahwa pemerintah sedang bermain dengan konfigurasi politik (non) demokratis. Anasir itu mulai dibangun dengan memetakan beberapa langkah represif terhadap warga negara ataupun kelompok masyarakat. Mulai pembubaran Hizbut Tahrir, menguatnya tuduhan makar terhadap beberapa warga negara, pembungkaman terhadap kritik, sampai dengan upaya pembentukan tim pengawas ucapan para tokoh.Kecenderungan ini semakin mendapatkan bentuknya ketika pemerintah kerap diklaim menggunakan instrumen hukum untuk memberangus lawan politiknya. Merujuk realitas empiris tersebut, apakah benar konstitusi pasca-amendemen (UUD ’99–2002) tidak mampu mereduksi peran pemimpin yang tiran? Benarkah bangsa ini di ambang arus balik demokrasi ?<br />
<br />
<b>Politik dan Supremasi Konstitusi</b><br />
<br />
Tentunya ada begitu banyak alat ukur ilmiah berbasis riset guna mengidentifikasi fenomena arus balik demokrasi. Layaknya sebuah riset ilmiah, konklusi yang dihasilkan tidak bersifat mutlak. Akibat perbedaan objek serta variabel metode riset, kebenarannya pun menjadi sangat relatif. Dengan begitu, ada perbedaan pendapat di kalangan ilmuwan soal arus balik demokrasi. Bagi cara pandang ilmuwan politik seperti Levitzky dan Ziblatt, variabel perilaku politik akan menentukan maju atau mundurnya sebuah demokrasi di suatu negara.<br />
<br />
Mereka menganggap bahwa seorang pemimpin demagog akan mengakibatkan matinya sebuah demokrasi. Masing-masing ilmuwan ini mengambil sampel atas kisah Fujimori di Peru. Mengisahkan bagaimana demokrasi di Peru mengalami kemunduran, kemudian bergerak kembali ke arah otoritarian.Bahkan Levitzky dan Ziblatt juga membangun preposisi bahwa kondisi demikian juga akan berpotensi besar dialami oleh Amerika Serikat. Di bawah kepemimpinan Trump, demokrasi di AS akan mengalami pembusukan akibat kebijakan-kebijakan antidemokrasi (Daniel Levitzky & Ziblatt:2018).<br />
<br />
Kondisi yang sama juga pernah dibangun melalui riset Hutington terhadap konfigurasi politik di Indonesia. Di bawah Presiden Soekarno, Indonesia menjadi entitas negara yang demokratis, kemudian mengalami arus balik di fase demokrasi terpimpin “1959–1965”, hingga mengantarkan Indonesia berada di bawah rezim otoriter sampai dengan Orde Baru (Samuel P Hutington: 1991).<br />
<br />
Di sisi lain, riset para ilmuwan hukum memperlihatkan kecenderungan yang berbeda. Para ilmuwan hukum percaya bahwa tegaknya supremasi konstitusi, tidak akan melahirkan seorang pemimpin yang tiran. Melalui titik pandang ini, gelombang arus balik demokrasi dipercaya tidak akan berhasil mewabah pada pemerintahan dengan supremasi konstitusi yang kuat. Konstitusionalisme menjadi titik tumpu dalam melahirkan prinsip saling imbang dan saling kontrol (checks and balances) pada lembaga-lembaga demokrasi. (Bonime Blanc:1987).<br />
<br />
Pandangan ini juga diperkuat oleh Buyung Nasution dalam peta jalan demokrasi konstitusional di Indonesia. Bahwa arus balik demokrasi yang terjadi pada fase 1959–1965 lebih dipengaruhi akibat lemahnya supremasi konstitusi, yang cenderung memberikan ruang begitu besar pada political good will presiden (Adnan Buyung Nasution:1995). Terlepas dari pembelahan perspektif tersebut, setidaknya ada dua faktor yang memengaruhi ancaman terhadap arus balik demokrasi.<br />
<br />
Pertama, bisa disebabkan oleh faktor perilaku politik dan kedua, bisa disebabkan oleh lemahnya supremasi konstitusi. Saat ini bangsa Indonesia sedikit lebih diuntungkan. Terlepas dari segala kekurangan yang dilahirkan atas hasil perubahan UUD, pada prinsipnya supremasi konstitusi berkembang lebih baik.<br />
<br />
Tidak ada lagi penumpukan kekuasaan di bawah satu tangan, dan aturan main berdemokrasi telah di desain dengan prinsip saling imbang serta saling kontrol. Oleh karena itu, kecil kemungkinan konstitusi kita akan melahirkan seorang pemimpin yang demagog. Namun perlu diingat, sebaik apa pun konstitusinya, tentu tetap memiliki kelemahan. Untuk memastikan supremasi hukum itu bisa bekerja dengan baik, maka diperlukan yang namanya perilaku politik. Perilaku yang didasarkan atas etika dan moralitas, untuk memastikan instrumen hukum itu tidak menjelma menjadi alat penindas.<br />
<br />
<b>Mencegah Arus Balik</b><br />
<br />
Kembali pada kondisi faktual saat ini. Pemerintah pun berada pada situasi yang cukup dilematis. Supremasi hukum dan demokrasi tampak memberikan titik taut yang saling berseberangan. Ketegangan bisa muncul ketika perluasan demokrasi menyebabkan lemahnya penegakan hukum, hal sebaliknya bisa terjadi. Ketika menguatkan penegakan hukum, justru menyebabkan terbatasnya ruang demokrasi.<br />
<br />
Di satu sisi pemerintah perlu menjamin tegaknya instrumen hukum terhadap ancaman besar pada era post-truth. Berita bohong, ujaran kebencian, dan agitasi yang setiap saat bisa berujung pada adu domba serta perpecahan pada masyarakat. Di sisi lain, penanganan sejumlah persoalan di atas melalui kebijakan yang over-represif, juga bisa membatasi ruang gerak demokrasi itu sendiri. Demokrasi menjadi beku (frozen democracy) bahkan jalan di tempat (stand still).<br />
<br />
Untuk mencegah datangnya arus balik demokrasi, tentu dibutuhkan upaya penanganan secara tepat. Sejak 2014, pembelahan pada level akar rumput terus menjadi lubang yang menganga. Alih-alih mendapatkan pemulihan secara cepat, justru kian tajam pada eskalasi pilkada pada 2017.<br />
<br />
Politik identitas menguat dan terus menjadi komoditas sampai pada 2019. Jika penanganan itu hanya dilakukan secara represif, ancaman arus balik menjadi kian nyata. Pembelahan akan terus menjadi gejala berulang. Pencemaran nama baik, tuduhan makar, ujaran kebencian, sampai dengan penghinaan atas jabatan presiden, akan terus menjadi penyakit laten di siklus lima tahunan.<br />
<br />
Oleh karena itu, partai politik, pemerintah, dan segenap tokoh masyarakat, seharusnya mampu mengambil bagian untuk merumuskan upaya preventif terhadap kompleksitas kebutuhan demokrasi saat ini. Begitu pun dengan upaya rekonsiliasi kebangsaan. Momentum ini seharusnya tidak hanya menjadi ajang pertemuan bagi para elite, tetapi juga mampu melahirkan langkah konkret, guna merekatkan kembali persatuan bangsa.(whb)<br />
<br />
Sumber:nasional.sindonews.com/read/1411464/18/arus-balik-demokrasi-1560448555Phaul Hegerhttp://www.blogger.com/profile/11849891513433886497noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1632825501638395157.post-4798585450663614752019-05-14T01:59:00.002-07:002019-05-14T02:01:13.008-07:00Muhammad Abdul Idris: Revitalisasi Pendidikan Vokasi Pasca Pilpres 2019<b>Muhammad Abdul Idris</b><br />
<i>Founder Indonesia Youth Forum, Direktur Eksekutif MataAir Foundation</i><br />
<br />
TUMPANG tindihnya koordinasi penyelenggaran pendidikan vokasi menjadi rancu dan membuang waktu untuk merealisasikan niat baik Presiden Jokowi. Evaluasi terhadap pembantu presiden, khususnya tingkat Kementerian harus dilakukan. Kegelisahan Jokowi cukup beralasan, data BPS per Agustus tahun 2018 misalnya menyebut, alumni Sekolah Kejuruan menjadi penyumbang angka pengangguran tertinggi yakni 11, 24%. Angka ini berbeda dengan lulusan SMA yang hanya berkisar 7,95%.<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgRE-e2Q70iFvdLsf3cVdl1h5ymU_rnBGaB6HgOZWnPMYQG0UA8ptGFF-C8fj6apwGlzq30EdHDaKjeNdmYUgWoNgojDHW1TDaq8A6E624ty-LzHmkaVeafekhSv20KIxx8uQmH4Q8WOgGj/s1600/Muhammad+Abdul+Idris.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="439" data-original-width="611" height="458" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgRE-e2Q70iFvdLsf3cVdl1h5ymU_rnBGaB6HgOZWnPMYQG0UA8ptGFF-C8fj6apwGlzq30EdHDaKjeNdmYUgWoNgojDHW1TDaq8A6E624ty-LzHmkaVeafekhSv20KIxx8uQmH4Q8WOgGj/s640/Muhammad+Abdul+Idris.jpg" width="640" /></a></div>
<br />
Banyaknya pengangguran di kalangan Sekolah Kejuruan ini menjadi bukti nyata bahwa ada ketidakberesan atau ketidaksinkronan antara pendidikan vokasi dengan market yang sedang dihadapi. Merujuk itu, Inpres Nomor 9 Tahun 2016 tentang revitalisasi pendidikan vokasi terbit sebagai salah satu jawaban atas kondisi tersebut. Namun sayangnya, lembaga terkait terkesan lambat merespon, bahkan gagap harus berbuat apa disaaat RABN 2020 pendidikan vokasi jadi prioritas dan Presiden menggaungkan investasi Sumber Daya Manusia.<br />
<br />
Sekolah kejuruan dan pelatihan bukanlah barang baru di Indonesia. Hanya saja orientasi kurikulumnya belum maksimal untuk menjawab demand and suplay change. Apalagi tren pergeseran tenaga kerja dan jenis pekerjaan di era teknologi informasi seperti sekarang ini menuntut kreativitas yang kompetitif. Problem ketidaksesuaian antara ketersediaan bidang jurusan (link and match) dengan bidang yang diperlukan industri dan pandangan miring terhadap pendidikan vokasi perlu dikaji lebih serius. Hal ini tidak lain dan tidak bukan menyangkut masa depan dan hajat hidup orang banyak.<br />
<br />
Selain itu, dari sisi tenaga kependidikan harus diupgarde dan sejalan dengan revitalisasi kurikulum pendidikan vokasi berbasis dunia usaha dan dunia industri (DUDI). Bagi kalangan industri, jangan hanya mengkritik sulitnya mendapatkan tenaga kerja handal. Tapi harus juga diimbangi dengan peran aktif, mendampingi peningkatan kuliatas pendidikan vokasi yang ada. Misalnya, mendirikan lembaga pelatihan dan kursus cakap kerja dan usaha berbasis pesantren atau komunitas serta memberikan kesempatan magang kerja maupun pendampingan usaha dengan syarat dan ketentuan yang mudah—tentu dengan tidak meninggalkan aspek kualitas secara substansial.<br />
<br />
Setali tiga uang, revitalisasi pendidikan vokasi akan mendorong naiknya produksi dalam negeri dengan didukung sumber daya yang baik. Pada industri pertanian dan pengolahan makanan misalnya, optimalnya produksi akan menghindarkan Indonesia dari ketergantungan impor. Di sisi lain, meningkatnya kualitas keterampilan dan kualitas kerja tenaga Indonesia akan mendorong naiknya daya beli mereka sebagai bagian dari masyarakat. Ini akan menguatkan kualitas pasar ekonomi Indonesia dan memperbaiki iklim investasi.<br />
<br />
<b>Ekonomi Umat dan Kemandirian Ekonomi</b><br />
<br />
Gagasan ekonomi umat KH Ma'ruf Amin selaku mantan ketua umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) akan membuka kesempatan lebih besar pada masyarakat kelas bawah untuk merasakan kemajuan ekonomi. Artinya, ketika ekonomi tumbuh, pendapatan dan daya beli mereka pun makin kuat. Pada akhirnya, perbaikan ekonomi terjadi di level akar rumput. Masyarakat kecil terlibat aktif dalam aktivitas ekonomi, khususnya pasar besar disektor barang dan jasa. Dua hal ini harusnya meleket secara utuh pada alumni pendidikan vokasi.<br />
<br />
Problemnya, gagasan besar ini tereduksi dengan penyempitan kata "umat" yang diasosiasikan dengan ekonomi Islam. Padahal KH. Ma’ruf Amin berbicara umat dalam konteks masyarakat kecil sebagaimana kelanjutan gagasan Bung Hatta tentang ekonomi Pancasila. Yakni ekonomi yang dapat memasukkan masyarakat kecil sebagai mata rantai produksi, tidak hanya hubungan pemilik dengan pegawai/pekerja.<br />
<br />
Semangat gotong royong, diharapkan menciptaklan iklim baru relasi industri dan umat. Perusahaan besar di topang oleh perusahaan kecil dan menengah dalam mata rantai produksi merupakan praktek dari teori Mittelstand. Ekonomi Mittelstand merupakan antitesa dari ekonomi neo-liberal yang menggaungkan trickle down effect.<br />
<br />
Dua periode pemerintahan SBY (2004-2014), pembangunan difokuskan di Pulau Jawa dengan harapan akan memberikan trickle down effect terhadap kebutuhan produk dan jasa pulau yang lain. Sedangkan pada periode pertama Jokowi (2014-2019) pencabutan subsidi BBM yang dialihkan kepada pembangunan infrastruktur terutama di luar pulau Jawa tidaklah lain untuk menghadirkan ekonomi pancasila/ umat/ kerakyatan. Sehingga mengahadirkan keadilan dan efesiensi dalam penyerapan APBN.<br />
<br />
Jika Jokowi Ma’ruf terpilih untuk melanjutkan periode kedua ada dua gagasan besar; Investasi SDM melalui pendidikan vokasi dan reformasi agraria melalui distribusi ulang lahan pertanian (land reform) yang perlu dikonsolidasikan. Jika perlu segera dibuat Komite Revitalisasi Pendidikan Vokasi. Dengan demikian, periode SBY lebih memperhatikan Main Demand, atau hadirnya permintaan dan dipenuhi oleh masyarakat, berbanding terbalik periode Jokowi yang lebih menitikberatkan pada main supply atau hadirnya penawaran sehingga kebutuhan akan datang dengan sendirinya melalui hadirnya investor yang ingin dipenuhi kebutuhannya. Semoga terbaik untuk Indonesia.<br />
<br />
<b>Menggerakkan Pesantren Vokasi</b><br />
<br />
Bagaimana kesiapan pesantren menjawab kebutuhan pendidikan vokasi sebagai solusi pemberdayaan ekonomi Umat?. Melimpahnya sumber daya manusia lulusan pesantren rata-rata berada pada usia produktif. Beberapa tahun terakhir keberadaan SMK berbasis Pesantren, Madrasah Vokasi serta Balai Latihan Kerja (BLK) untuk pesantren pertumbuhannya cukup bagus. Lagi-lagi apakah lulusan yang dihasilkan siap berkompetisi ?<br />
<br />
Direktorat Pesantren Kementerian Agama harus mulai melirik santri salaf untuk diberikan bekal pasca pesantren. Misalnya, dibukanya peluang lembaga kursus dan pelatihan pasca santri salaf dengan kurikulum cakap kerja dan cakap usaha serta didorong dengan nilai keagamaan yang memperkuat keharusan santri yang berdaya saing dan sukses dunia maupun akhirat.<br />
<br />
Sementara itu, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi jangan terlalu bersemangat membangun infrastruktur BLK namun lupa memikirkan kejuruan apa yang strategis dan memang sedang tren diminati atau dibutuhkan oleh industri. Sehingga kita tidak melakukan penumpukan pengangguran dengan menyiapkan kompetensi kejuruan tumpang tindih bahkan menumpuk dan tidak sejalan dengan dunia usaha dan dunia industri.<br />
<br />
Sementara di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memiliki direktorat kursus dan pelatihan. Apakah sepuluh rumpun kejuruan kursus dan pelatihan sudah disesuaikan dengan tren peluang kerja dan usaha? sehingga lembaga kursus yang sudah ada jika perlu menambah izin kejuruan kompetitif bahkan mempertimbangkan keberadaan kejuruan yang dianggap kurang berdaya saingnya.<br />
<br />
Pemerintah dan Industri harus juga memikirkan guru tamu untuk peningkatan kualitas pendidikan vokasi di Pesantren serta membuka peluang sebesarnya pada santri untuk magang baik di BUMN strategis maupun perusahaan besar. Saya kira santri kalau didampingi secara serius akan menunjukkan nilai plusnya yakni kompetensi dan integritasnya. Tentu, keunggulannya adalah nilai akhlakul karimah santri yang sudah ditanamkan, menjadi modal pergaulan di dunia kerja maupun usaha. Saya kira banyak pihak yang berminat untuk bermitra maupun “memanfaatkan” santri sebagai partner kerja dengan sumber daya manusia yang handal, berintegritas dan kompeten.(pur)<br />
<br />
Sumber:nasional.sindonews.com/Phaul Hegerhttp://www.blogger.com/profile/11849891513433886497noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1632825501638395157.post-48005265259834670022019-05-02T19:03:00.000-07:002019-05-02T19:03:00.202-07:00Idul Rishan: Memisahkan (Lagi) Pemilu Serentak<b>Idul Rishan</b><br />
<i>Pengurus Asosiasi Pengajar HTN-HAN Wilayah DIY</i><br />
<i>Pengajar Hukum Konstitusi, Universitas Islam Indonesia</i><br />
<br />
SALAH satu karakteristik penyelenggaraan pemilu di Indonesia ialah perubahan cetak biru pemilu yang bisa terjadi secara cepat. Hampir di setiap fase pemilu pascatransisi politik, kita melahirkan undang-undang yang berbeda serta tawaran konsep yang berbeda. Setelah melaksanakan penyelenggaraan pemilu secara serentak pada 17 April lalu, tentu ada banyak catatan dan kelemahan yang perlu dijadikan bahan evaluasi.<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiKxIA41801XI3KGXPPG5FCxl-gY2uqpt0BwlcOvSuH9FnwMq4mSW1wJhArb62tbVm2PqpQuidd7o8eXry7VIA1BI3j9qxPZk5P77NurcMZlW73fHJ5TH0ZxROxXunwyyf_6KF5oqwbExof/s1600/kotak+suara.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="372" data-original-width="435" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiKxIA41801XI3KGXPPG5FCxl-gY2uqpt0BwlcOvSuH9FnwMq4mSW1wJhArb62tbVm2PqpQuidd7o8eXry7VIA1BI3j9qxPZk5P77NurcMZlW73fHJ5TH0ZxROxXunwyyf_6KF5oqwbExof/s1600/kotak+suara.jpg" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Salah satu karakteristik penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) di Indonesia ialah adanya perubahan cetak biru pemilu yang bisa terjadi secara cepat. Foto/Ilustrasi/SINDOphoto/Dok</td></tr>
</tbody></table>
<br />
Mungkin yang menjadi salah satu sorotan ialah faktor daya tahan fisik sumber daya manusia dalam mengawal logistik pemilu. Akibat kuantitas pekerjaan yang meningkat, banyak anggota kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) serta kepolisian yang meninggal dan sakit ketika melaksanakan tugas.<br />
<br />
Melihat fenomena ini, pembentuk hukum nasional kembali melempar isu untuk memisahkan dua tahap pemilu serentak. Pertama , rezim pemilu nasional yang terdiri dari pemilihan presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI), dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI). Kedua , rezim pemilu daerah yang terdiri dari pemilihan kepala daerah dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).<br />
<br />
Hemat penulis, gagasan ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Bahkan tidak menuntut kemungkinan, gagasan ini hanya menjadi "pepesan kosong " di ruang publik. Ada begitu banyak tantangan, termasuk memperhatikan beberapa norma konstitusi yang mengatur tentang pelaksanaan pemilu dan pilkada.<br />
<br />
<b>(In) Konsistensi Konsep</b><br />
<br />
Jika melihat praktik demokrasi di Amerika Serikat (AS), konsep pemilu pada dasarnya didesain untuk bertahan dalam jangka waktu yang relatif panjang. Perangkat peraturan perundang-undangan dibentuk dan digunakan untuk melewati setiap fase pemilu. Sebagai contoh, dalam desain pemilihan presiden di AS, keterpilihan capres ditentukan dengan yang namanya electoral collage.<br />
<br />
Konsep ini menawarkan bahwa keterpilihan capres tidak hanya bersandar pada popular vote, tetapi juga dipengaruhi oleh suara para elector yang tersebar di beberapa negara bagian. Meskipun menuai banyak kritik, Amerika tetap konsisten menggunakan sistem ini, dan terus berupaya mengendalikan ekses yang muncul dari penerapan electoral collage.<br />
<br />
Pemerintah AS berpendapat bahwa, ekses yang muncul dari konsep electoral collage tidak membawa penyakit kronis bagi kualitas demokrasi di AS. (Bernard Grofman: Thinking About the Political Impacts of the Electoral College :2005). Kondisi demikian tentu berbeda dengan praktik demokrasi di Indonesia. Kita cenderung memaksakan cara dan pendekatan institusionalisasi secara instan. Bermain dengan konsep, tetapi di saat yang sama cenderung meninggalkan konsep yang telah dibangun.<br />
<br />
Lima tahun yang lalu (2014), kita membangun konsep dan melaksanakan pemilu secara bertahap (staggerd election). Pemilihan legislatif dan pemilihan presiden dilaksanakan secara terpisah. Dalam membangun stabilitas pemerintahan, elektabilitas partai dibangun terlebih dahulu untuk mengusung calon presiden guna berkompetisi di pilpres.<br />
<br />
Merasa tidak begitu puas dengan model staggerd election, kita menggagas pemilu serentak (concurrent election) sebagai konsep yang dicita-citakan pada lima tahun setelahnya (2019). Demi memuluskan cita-cita concurrent election, kita memohon pada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk membuka jalan demi mendapatkan legitimasi sesuai dengan kehendak konstitusi.<br />
<br />
Bahwa pelaksanaan pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E ayat (2) UUD, ialah pelaksanaan pemilu secara serentak untuk pileg dan pilpres pada waktu dan hari yang sama. Setelah merealisasikan harapan itu di Pemilu 2019, lantas mengapa pemerintah membangun gagasan baru untuk memisahkan lagi tahapan pemilu yang sudah serentak? Desain concurrent election tampak begitu ringkih, seolah tak mampu mengikuti perkembangan dan realitas di masyarakat.<br />
<br />
<b>Kalkulasi Manfaat</b><br />
<br />
Sebenarnya harus diakui bahwa gagasan memisahkan rezim pemilu memang merupakan ide yang menarik. Dengan memisahkan dua rezim pemilu nasional dan pemilu daerah, secara tidak langsung tampak akan menutupi beberapa kelemahan yang ditimbulkan melalui pemilu serentak. Pertama, beban kerja penyelenggara pemilu tentu akan berkurang secara signifikan sebab, pemilu dilakukan melalui dua tahapan.<br />
<br />
Kedua, pendidikan politik melalui kampanye jauh lebih efisien karena masyarakat bisa memisahkan secara langsung yang mana isu daerah dan yang mana isu nasional. Termasuk di dalamnya membuka rasionalitas pemilih karena jumlah calon yang akan dipilih akan menjadi lebih ramping. Ketiga , pemisahan rezim pemilu juga akan berpengaruh pada rasionalisasi mata anggaran. Skema pembiayaan pemilu nasional akan dibebankan pada APBN, sedangkan skema pembiayaan pemilu daerah akan dibebankan pada APBD.<br />
<br />
Namun sekali lagi, beberapa identifikasi dari sejumlah manfaat di atas ialah hanya sebuah kalkulasi sederhana; sedangkan dalam praktiknya, membangun sebuah cetak biru guna memisahkan rezim pemilu nasional dan daerah bukanlah hal yang sederhana. Perdebatan politik hukum tentu menjadi sangat tajam, sebab dalam menyusun perubahan undang-undang, kita tidak hanya berbicara soal premis mayor ataupun premis minor. Di sana ada sejumlah perdebatan kepentingan golongan yang harus diakomodasi dalam proses legislasi.<br />
<br />
<b>Memetakan Tantangan</b><br />
<br />
Terlepas dari itu semua, hal yang paling mendasar untuk dipetakan ialah apakah konstitusi menghendaki adanya pemisahan rezim pemilu serentak? Konstruksi penormaan di dalam UUD, sudah membatasi tawaran konsep tersebut. Pasal 22E ayat (2) UUD menegaskan bahwa, pemilihan anggota DPRD merupakan rezim pemilihan umum. Sementara di dalam pemilihan kepala daerah yang diatur dalam Pasal 18 Ayat (4) bukan termasuk di dalam rezim pemilu, melainkan rezim pemerintah daerah.<br />
<br />
Bahkan sebagai bentuk interpretasi dari masing-masing Pasal a quo, pada tahun 2015 MK sudah memberikan garis demarkasi bahwa pemilihan kepala daerah merupakan rezim nonpemilu. kemudian untuk penyelenggaraannya, pemilu dilaksanakan secara serentak di waktu dan di hari yang sama. (Putusan MK No 14/PUU-XI/2013).<br />
<br />
Melihat bentangan norma di atas, ada baiknya pemerintah konsisten dengan pilihan konsep yang telah disepakati baik di dalam UUD maupun melalui interpretasi MK. Evaluasi beberapa kelemahan pascapemilu serentak memang penting, tetapi jangan melempar gagasan untuk melakukan perubahan konsep secara mendasar. Terkecuali, pemerintah berani untuk mendetakkan kembali lonceng amendemen UUD. (maf/nasional.sindonews.com)Phaul Hegerhttp://www.blogger.com/profile/11849891513433886497noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1632825501638395157.post-81957864585471079402019-05-01T22:18:00.001-07:002019-05-01T22:18:25.932-07:00Amy Searight: Apa Arti Pemilu Indonesia dan Thailand Bagi Demokrasi di Asia Tenggara?<b>Apa Arti Pemilu Indonesia dan Thailand Bagi Demokrasi di Asia Tenggara?</b><br />
<br />
Indonesia dan Thailand sempat dianggap sebagai pilar demokrasi di Asia Tenggara, dengan Indonesia bergerak maju seandainya Thailand melangkah mundur. Pemilu di Indonesia berjalan lancar dan damai, sedangkan pemilu Thailand melibatkan kecurangan dari pihak pro-junta militer. Terlepas dari tren yang memprihatinkan ini, masa depan demokrasi Indonesia terlihat lebih cerah daripada Thailand saat ini.<br />
<br />
Oleh: <b>Amy Searight</b> (<i>Center for Strategic and International Studies</i>)<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEib6xvuq4Y-RvkvRkMBFlYp8p0d77rPQ11pUGKmhrcZXcG0W6hHw1PoaN-Nyanla4ppEH2YpmSK_p97ibFBNKXkI4JnEJ13WMzxMMJfkBn_RM-W9wR9UWNsErcN4GCVpFWV4y-ViQ1B538g/s1600/Surat+Suara+Pilpres-2019.png" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="600" data-original-width="850" height="450" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEib6xvuq4Y-RvkvRkMBFlYp8p0d77rPQ11pUGKmhrcZXcG0W6hHw1PoaN-Nyanla4ppEH2YpmSK_p97ibFBNKXkI4JnEJ13WMzxMMJfkBn_RM-W9wR9UWNsErcN4GCVpFWV4y-ViQ1B538g/s640/Surat+Suara+Pilpres-2019.png" width="640" /></a></div>
<br />
Dalam beberapa minggu terakhir, Indonesia dan Thailand mengadakan pemilu yang tidak hanya menentukan siapa yang akan memerintah di pemerintahan Indonesia dan Thailand, tetapi juga membentuk lintasan masa depan demokrasi dari masing-masing negara dan menandakan tren demokrasi di Asia Tenggara.<br />
<br />
Indonesia dan Thailand, dua ekonomi terbesar di Asia Tenggara dan dua pilar diplomasi dan kerjasama regional, telah bergerak ke arah yang berlawanan dalam beberapa dekade terakhir pada spektrum demokrasi. Thailand adalah salah satu negara pertama yang mengadopsi demokrasi di Asia Tenggara, setelah protes besar di Bangkok pada tahun 1992 mengakhiri pemerintahan militer yang telah berkuasa hampir enam dekade dan mengantarkan Thailand ke periode pemerintahan demokratis yang stabil, yang memuncak dalam konstitusi 1997 yang tampaknya memperkuat transisi demokratis Thailand.<br />
<br />
Kemudian, demokrasi di Indonesia muncul setelah penguasa otoriter Suharto yang telah berkuasa selama 32 tahun mengundurkan diri setelah gejolak ekonomi yang disebabkan oleh Krisis Keuangan Asia pada 1997-1998. Namun tidak seperti Thailand pada tahun 1992, yang memiliki kelas menengah yang besar, masyarakat sipil yang bersemangat, dan ekonomi yang tumbuh subur di bawah arus besar investasi asing langsung (FDI), fondasi bagi transisi demokrasi yang sukses di Indonesia, salah satu negara terpadat di dunia dengan tingkat kemiskinan dan korupsi yang jauh lebih tinggi, tampak kurang aman.<br />
<br />
Sementara Thailand dipuji sebagai model untuk demokrasi di Asia Tenggara, Reformasi Indonesia tampaknya tidak berpijak di pondasi yang kuat saat itu.<br />
<br />
Namun, dua puluh tahun setelah Reformasi, Indonesia kini menjadi salah satu pilar demokrasi di Asia Tenggara dan telah memiliki lima transisi kekuasaan yang damai. Pekan lalu, pada tanggal 17 April, Indonesia mengadakan pemilu langsung terbesar di dunia, dengan lebih dari 80 persen dari 193 juta pemilih yang memenuhi syarat memberikan suaranya dalam pilpres dan pileg di lebih dari 800.000 TPS di seluruh Indonesia―suatu prestasi logistik besar-besaran yang terlaksana dengan lancar dan damai.<br />
<br />
Hasil quick count menunjukkan bahwa Presiden Jokowi memenangkan periode kedua dengan selisih sekitar 10 poin persentase dari Prabowo Subianto, selisih yang lebih besar dari pilpres 2014. Pilpres ini sebagian besar merupakan referendum tentang periode pertama Presiden Jokowi, dan mayoritas pemilih Indonesia tampaknya lebih memilih keberlanjutan dan kebijakan Jokowi yang berfokus pada infrastruktur, kesejahteraan sosial, dan pertumbuhan ekonomi, daripada mendukung Prabowo dan koalisi Islam garis kerasnya untuk menggeser Indonesia menjadi negara yang lebih religius yang kurang toleran terhadap agama minoritas dan kebebasan sipil.<br />
<br />
Meskipun hasil pemilu menandakan lebih banyak kontinuitas daripada perubahan di Indonesia, pemilu dan kampanye sebelum itu menggarisbawahi tentang tren dalam demokrasi Indonesia. Pemilu tersebut mengungkapkan perpecahan yang berkembang di Indonesia tentang peran agama yang layak dalam politik dan ruang publik. Protes besar-besaran kelompok Islam pada akhir tahun 2016 untuk melengserkan Ahok adalah seruan yang membangkitkan intoleransi agama konservatif dan politik identitas di Indonesia.<br />
<br />
Pada tahun 2018, mayoritas (55 persen) Muslim Indonesia yang disurvei keberatan jika pemimpin mereka non-Muslim, persentase ini meningkat dibandingkan dari tahun 2016 dengan 42 persen. Jokowi, yang telah lama dikenal sebagai Muslim moderat dan merupakan sekutu Ahok, menggandeng ulama Muslim konservatif, Ma’ruf Amin, untuk memperkuat basis Islamnya. Namun, Jokowi dinilai menodai citra reformis liberalnya dengan menggunakan lengan negara untuk menekan lawan politik dan demonstrasi anti-Jokowi.<br />
<br />
Terlepas dari tren yang memprihatinkan ini, masa depan demokrasi Indonesia terlihat lebih cerah daripada Thailand saat ini. Meskipun militer Thailand berjanji pada tahun 1990-an bahwa mereka akan “kembali ke barak” dan tidak pernah lagi campur tangan dalam politik, militer tetap melanjutkan kebiasaannya untuk menghasut kudeta pada tahun 2006, menggulingkan taipan miliarder telekomunikasi, Thaksin Shinawatra, yang terpilih sebagai populis dan memerintah dengan kecenderungan otokratis, dan sekali lagi pada tahun 2014 di mana militer menggulingkan pemerintahan terpilih Yingluck Shinawatra―saudara perempuan Thaksin.<br />
<br />
Kudeta tahun 2014 dipimpin oleh Jenderal Prayuth Chan-Ocha, yang tidak seperti pemimpin kudeta militer sebelumnya menjadikan dirinya sendiri sebagai perdana menteri alih-alih mengangkat pemerintahan sipil sementara.<br />
<br />
Hasil pemilu Thailand bulan lalu pada tanggal 24 Maret menunjukkan bahwa upaya junta militer untuk memperkuat demokrasi mayoritas tampaknya telah berhasil. Meskipun partai yang terkait dengan Thaksin, Pheu Thai, tampaknya memperoleh jumlah kursi terpilih terbanyak dan koalisi anti-junta dan pro-junta terbagi rata di Majelis Rendah dengan 500 kursi, partai pro-junta Palang Pracharath berada dalam posisi yang mapan untuk membentuk koalisi mayoritas dan menunjuk ulang Prayuth sebagai perdana menteri. Ini karena Majelis Tinggi yang beranggotakan 250 orang yang tidak terpilih akan ditunjuk oleh pemerintah junta.<br />
<br />
Bahkan dengan keuntungan-keuntungan bawaan ini, pemerintah Prayuth tampak kaget dengan kemungkinan penolakan rakyat dalam pemilu, mengarah ke sejumlah besar kecurangan dalam pemilu—yang pertama bagi Thailand sejak transisi demokratisnya. Dan KPU Thailand tampaknya bersedia untuk campur tangan di hasil pemilu, meunculkan serangkaian tuduhan palsu terhadap Thanathorn Juangroongruangkit, pemimpin karismatik dari Future Forward Party yang progresif, yang mendapat sepertiga dari total suara di pemilu dan secara khusus menarik bagi para pemilih muda perkotaan. Kelompok pemilih ini tampaknya kurang berminat pada perpecahan politik pro-Thaksin/anti-Thaksin yang telah mendominasi politik Thailand selama dua dekade.<br />
<br />
Beberapa tonggak dan penanda lain bulan depan akan menunjukkan tanda-tanda lebih lanjut tentang kesehatan demokrasi di Asia Tenggara. Pada 9 Mei, KPU Thailand akan mengumumkan hasil resmi pemilu, setelah penobatan Raja Vajiralongkorn pada awal Mei.<br />
<br />
Jika Thanathorn didiskualifikasi atau partainya dibubarkan, algoritma yang tidak jelas yang membagi 150 kursi partai di bawah perwakilan proporsional dapat memiringkan hasilnya menjadi lebih berpihak pada partai pro-junta. Tetapi langkah ini juga akan memperdalam ketidakpuasan di antara banyak pemilih di Thailand, terutama pemilih yang lebih muda yang akan ditolak suaranya setelah memilih Future Forward Party dan menimbulkan pertanyaan tentang stabilitas politik Thailand dan masa depan demokrasi.<br />
<br />
Tanggal 9 Mei juga merupakan peringatan satu tahun kemenangan koalisi Pakatan Harapan yang menggulingkan Perdana Menteri Najib dan mengembalikan Mahathir Mohamad sebagai perdana menteri di pemilu Malaysia, menandai pengalihan kekuasaan secara damai pertama dalam 61 tahun sejarah Malaysia. Mahathir menjanjikan agenda reformasi yang berfokus pada penanggulangan korupsi dan mempromosikan transparansi dan solvabilitas dalam keuangan pemerintah—termasuk meninjau dan menegosiasikan kembali kesepakatan infrastruktur besar dengan China.<br />
<br />
Mahathir juga berjanji untuk mengembalikan kebebasan pers yang sangat dibatasi di bawah pemerintahan Najib, membuat Guardian menyebut Malaysia sebagai “harapan” untuk pers Asia Tenggara di saat wilayah tersebut menghadapi penindasan berat terhadap kebebasan pers, dengan wartawan dipenjara di Myanmar, Thailand, dan Filipina, media independen sepenuhnya ditutup di Kamboja, dan sejumlah blogger ditangkap di Vietnam.<br />
<br />
Namun masih ada banyak pertanyaan tentang seberapa jauh Mahathir akan membongkar undang-undang media yang represif dan berhasil mengatasi korupsi. Bahkan yang menjadi pertanyaan yang lebih besar adalah kesediaan Mahathir untuk menyerahkan obor kepada mantan anak didiknya, Anwar Ibrahim, pada pertengahan tahun depan.<br />
<br />
Terlepas dari semua ini dan hambatan potensial lainnya, perubahan demokrasi Malaysia yang mengejutkan telah menjadi salah satu dari sedikit titik terang di wilayah Asia Tenggara yang telah melihat begitu banyak kemunduran pada demokrasi dan norma-norma demokrasi.<br />
<br />
Bulan depan, Filipina juga akan mengadakan pemilu paruh waktu pada 13 Mei, di pertengahan masa jabatan enam tahun Presiden Duterte. Sampai batas tertentu, pemilu paruh waktu akan berfungsi sebagai referendum pemerintahan Duterte, khususnya mengenai ekonomi, tetapi juga kebijakannya tentang perang narkoba, perlawanan terorisme di Marawi, dan pemulihan hubungan dengan China atas sengketa maritim di Laut China Selatan sembari menjauhkan Filipina dari Amerika Serikat.<br />
<br />
Dengan 79 persen populasi puas dengan kinerjanya pada bulan Maret, terlepas dari kebijakannya yang tidak liberal dan melemahnya lembaga-lembaga demokrasi, tren demokrasi di Filipina agak mengecewakan.<br />
<br />
Secara keseluruhan, suksesi pemilu besar di negara-negara utama Asia Teggara selama satu tahun menunjukkan gambaran beragam untuk tren demokrasi di Asia Tenggara. Warga sipil kembali memerintah di negara-negara seperti Thailand dan, beberapa tahun lalu, di Myanmar; perpecahan muncul di sistem demokrasi paling kuat di Asia Tenggara, yaitu Indonesia dan Filipina; dan Thailand, yang sebelumnya merupakan perintis demokrasi di Asia Tenggara, cenderung mengalami kemunduran.<br />
<br />
Myanmar, yang dulu merupakan sumber harapan dan inspirasi ketika mulai beralih ke demokrasi dengan pemilu bersejarahnya pada tahun 2015, sekarang menjadi kisah peringatan tentang bagaimana demokrasi dapat memunculkan intoleransi dan penindasan dengan kekerasan terhadap minoritas yang tertindas.<br />
<br />
Amy Searight adalah penasihat senior dan direktur Program Asia Tenggara di Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIS) di Washington, DC<br />
<br />
Pandangan yang diungkapkan dalam artikel ini adalah milik penulis sendiri dan tidak mencerminkan kebijakan editorial Mata Mata Politik.<br />
<br />
Keterangan foto utama: Kotak suara pemilu sebelum didistribusikan di Jakarta, Indonesia, 12 April 2019. (Foto: Reuters/Willy Kurniawan)<br />
<br />
Sumber: matamatapolitik.com/opini-apa-arti-pemilu-indonesia-dan-thailand-bagi-demokrasi-di-asia-tenggara/Phaul Hegerhttp://www.blogger.com/profile/11849891513433886497noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1632825501638395157.post-17807934792719671332019-04-30T13:08:00.000-07:002019-05-02T13:08:55.182-07:00Allan Fatchan: Pemilu Sunyi Anggota DPDOleh: <b>Allan Fatchan Gani Wardhana</b><br />
<br />
Salah satu catatan terhadap penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) Serentak 2019 ialah sunyi dan senyapnya gaung pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Bahkan dapat dikatakan bahwa pemilu anggota DPD nyaris tidak ada gaung dan jauh dari gegap gempita publik. Celakanya, kondisi sunyi ini merata di setiap provinsi yang menjadi daerah pemilihanan Pemilu anggota DPD.<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjyVeoCvrsZSSWUPMLurg1DutxxhAJbaF1moW-vxVYaqn9Fpsm-ypdFauA4MXiQmlDDQ2HqEszKEWSpR0OL1mMYZoyq5kPH5cqccaGrT27GwSoy8mdGG4Y5imhfb51e8vk2bvaavLLP1iFS/s1600/Allan+Fatchan+Gani+Wardhana.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" data-original-height="417" data-original-width="374" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjyVeoCvrsZSSWUPMLurg1DutxxhAJbaF1moW-vxVYaqn9Fpsm-ypdFauA4MXiQmlDDQ2HqEszKEWSpR0OL1mMYZoyq5kPH5cqccaGrT27GwSoy8mdGG4Y5imhfb51e8vk2bvaavLLP1iFS/s320/Allan+Fatchan+Gani+Wardhana.jpg" width="287" /></a></div>
<br />
Secara konstitusional, pemilu anggota DPD diatur dalam Pasal 22E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Adapun dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), jumlah anggota DPD setiap provinsinya adalah empat orang. Artinya, dalam setiap kali pemilu anggota DPD yang memunculkan banyak calon, hanya akan ada empat orang yang lolos untuk dapat menjadi anggota DPD. Dari 34 provinsi di Indonesia yang ada saat ini, akan memunculkan 136 anggota DPD periode 2019-2024.<br />
<br />
Pertanyaannya, mengapa pemilu anggota DPD dapat dikatakan sunyi-senyap? Pertama , efek pemilu serentak yang dilaksanakan pertama kali dalam sejarah menjadi salah satu penyebab. Fokus perhatian masyarakat banyak yang tertuju pada pertarungan pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres). Hal ini dapat kita lihat dari tingkat partisipasi pemilih kemarin, di mana tingkat partisipasi pilpres lebih besar dibandingkan dengan pemilu legislatif (pileg).<br />
<br />
Perdebatan di ruang publik pun lebih banyak menyoroti pilpres dibandingkan dengan pileg. Di sisi lain, dalam pileg sendiri terjadi "benturan" dan perebutan perhatian antara pemilu anggota DPD dengan pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD. Faktanya, pemilu DPD "kalah pamor" sekaligus "kalah tenaga". Dalam Pemilu DPR dan DPRD mesin partai poitik (parpol) bergerak, sedangkan pemilu anggota DPD yang gerak adalah calon yang bersangkutan.<br />
<br />
Kedua , ini juga karena faktor kinerja DPD yang dianggap masih abu-abu. Kehadiran lembaga DPD masih belum dapat dirasakan secara nyata di level masyarakat. Survei akhir 2018 yang dilakukan oleh Paguyuban Cinta Bangsa (Paciba) Research Center bahkan mengungkapkan sebanyak 70% warga Jawa Barat rupanya masih belum tahu fungsi atau peran anggota DPD.<br />
<br />
Fakta lain justru diungkap sendiri oleh para peserta pemilu anggota DPD bahwa ketika mereka turun kampanye ke daerah pemilihan (dapil), masyarakat banyak yang belum tahu apa tugas DPD beserta perbedaannya dengan DPR. Di sisi lain terdapat "persaingan" dalam hal keterwakilan antara DPD dengan penyelenggara pemerintah daerah yang direpresentasikan oleh kepala daerah dan DP<br />
<br />
<b><br /></b>
<b>Evaluasi Kampanye </b><br />
<br />
Ketiga , minimnya ruang kampanye bagi calon anggota DPD. Yang selama ini terjadi, kampanye dilakukan hanya dengan memasang baliho, dan tidak ada kampanye terbuka semacam konvensi rakyat. Padahal, wilayah kampanye untuk anggota DPD ini adalah satu wilayah provinsi sehingga seharusnya model kampanyenya dapat memanfaatkan ruang publik besar yang dapat digunakan untuk berdiskusi dan berdialog dengan rakyat antardaerah dalam satu wilayah provinsi.<br />
<br />
Model kampanye pemilu anggota DPD ini harus dievaluasi dan ke depan perlu dihadirkan formula kampanye yang dapat menjangkau secara luas. Selain itu, perlu juga untuk dihadirkan forum debat antaranggota DPD berkaitan dengan visi-misi mereka dalam mewakili daerah. Terlebih, rata-rata yang maju menjadi anggota DPD adalah putra daerah atau mereka yang dikenal sebagai tokoh di daerah tersebut. Tentu masyarakat membutuhkan gagasan besar mereka sebagai wakil daerah.<br />
<br />
<br />
<b>Agenda Besar </b><br />
<br />
Terlepas bahwa penyelenggaraan pemilu anggota DPD memiliki catatan bahwa pemilu 2019 ini merupakan momentum untuk menyusun agenda besar masa depan kelembagaan DPD. Terhadap calon terpilih, ada tugas menanti yaitu memperkuat peran sekaligus menegakkan marwah kelembagaan DPD.<br />
<br />
Secara konstitusional, anggota DPD adalah wakil daerah (regional representation ) yang hanya akan secara murni menyuarakan kepentingan-kepentingan daerahnya. Anggota DPD terpilih memiliki legitimasi yang kuat sebagai perwakilan langsung dari suatu wilayah yang dapat berkontribusi untuk kemajuan demokrasi di Indonesia. Sebagai representasi rakyat yang menyuarakan kepentingan-kepentingan daerahnya, tentu anggota DPD harus proaktif menjaring aspirasi masyarakat di daerah.<br />
<br />
Penjaringan aspirasi tersebut dilakukan dalam rangka memberikan sarana partisipasi rakyat untuk merumuskan kebijakan publik, terutama yang berkaitan dengan persoalan daerah. Hal ini sejalan dengan gagasan pembentukan lembaga DPD sebagai alat representasi sekaligus sebagai salah satu mesin untuk mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan rakyat yang berada di daerah.<br />
<br />
Selain itu, anggota DPD terpilih juga diharapkan mampu menjadi perekat yang akan memperkuat ikatan daerah-daerah dalam rumah besar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dari sisi kewenangan, anggota DPD dapat mengoptimalkan kinerja lembaga perwakilan di Indonesia melalui fungsi legislasi DPD yang diterjemahkan melalui peran untuk mengajukan, membahas, dan memberi pertimbangan atas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan daerah.(nag/nasional.sindonews.com/)Phaul Hegerhttp://www.blogger.com/profile/11849891513433886497noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1632825501638395157.post-43424494410169582642019-03-23T21:37:00.000-07:002019-03-23T21:37:53.785-07:00JOKO WIDODO (ABANGAN) MENCOMOT ATRIBUT NU & BENAMKAN LEGASI GUS DUROleh: <b>Natalius Pigai</b><br />
<br />
Aneh bin Ajaib! Itulah kalimat yang tentu saja dapat terlontar dari pikiran dan perasaan setiap ilmuan politik dan intelektual sosial yang memahami histriografi, sosiologis dan peta politik Indonesia sepanjang 73 tahun Indonesia Merdeka. Bahkan sesungguhnya tidak ada DNA secara sigifikan antara Joko Widodo yang berasal dari Kaum Abangan memiliki pengaruh terhadap kekuatan Politik Santri (khususnya kalangan NU).<br />
<br />
Dalam historiografi Indonesia, pemilihan umum 1955 kekuatan politik terpolarisasi dalam 2 kelompok yaitu Partai Ideologis dan Partai Massa. Kaum Abangan hadir dalam partai ideologis dengan membawa Mahaenisme (PNI) dan Partai Komunis Indonesia, sedangkan NU dan Masyumi muncul sebagai partai massa. Inilah embrio yang meski kita memotret dimana PNI dan Parkindo, Partai Katolik bersatu ketika adanya fusi partai tahun 1973 ke dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Sedangkan NU dan Masyumi bersatu dalam kekuatan politik Santri Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sedangkan kelompok Kekaryaan (TNI), Intelektual dan Priyayi (ninggrat) bergabung dalam Partai Golkar.<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhVr7B_tlrkKHKQ_qcxI0fv4QWWqhzZve9auglh7UXYKkHjiqNU5tZrSvs3ctzMcyfHqWGN2KkHunfrsnK4c-ERFxpyNUP2kSnqzRT1z8XuThmMMqn7TzpqTRTJHzaMRtDbQH9mgvFKnJRv/s1600/Natalius+Pigai+Nilai+Presiden+Jokowi+Tidak+Mampu+Selesaikan+Masalah+HAM+Papua.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="600" data-original-width="800" height="480" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhVr7B_tlrkKHKQ_qcxI0fv4QWWqhzZve9auglh7UXYKkHjiqNU5tZrSvs3ctzMcyfHqWGN2KkHunfrsnK4c-ERFxpyNUP2kSnqzRT1z8XuThmMMqn7TzpqTRTJHzaMRtDbQH9mgvFKnJRv/s640/Natalius+Pigai+Nilai+Presiden+Jokowi+Tidak+Mampu+Selesaikan+Masalah+HAM+Papua.jpg" width="640" /></a></div>
Polarisasi kekuatan politik yang muncul sejak Indonesia lahir tersebut di atas, tidak begitu saja terbentuk secara alamia tetapi ada akar historisnya yaitu ketika Antropolog Amerika Clifford Geerz membatu masyarakat Jawa memudahkan klasifikan dalam kelompok Priyayi, Abangan dan Santri. Tiga konsep keberagamaan orang Jawa; Abangan, yang merepresentasikan pada aspek animism. 2. Santri mewakili penekanan pada aspek Islam sinkretisme. 3. Priyayi, menekankan pada elemen birokrat.<br />
<br />
Sebelum membahas Joko Widodo (menyandera? Islam Santri (NU) dalam politik Indonesia kini, perlu saya mengukur seberapa besar derajat dan posisi Joko Widodo dalam tipologi masyarakat Jawa. Sudah barang tentu Joko Widodo adalah seorang berasal dari kelas masyarakat Abangan yang menganut pandangan animism dan kelompok kelas pekerja jika dilihat dari perspektif Jawa.<br />
<br />
Cerita berikut yang digambarkan oleh Clifford Geerz ini dapat membantu melihat potret Joko Widodo. Dalam buku Cliford Geerz berjudul Agama Jawa (Religion of Java) sebuah cerita yang menarik silakan disimak: Seorang Tukang Kayu Muda yang lebih sistematis menguraikan hal-hal (kepercayaan tentang Makhluk Halus) itu dari pada masyarakat Jawa pada umumnya mengisahkan kepada saya (Geerzt) bahwa ada 3 jenis mahluk halus yang utama: Memedi yang secara harfiah berarti tukang menakut-nakuti, Lelembut atau Makhluk Halus dan Tuyul. Memedi biasanya suka menakut-nakuti orang tetapi tidak menimbulkan kerusakan serius. Memedi laki-laki disebut Genderuwo, dan Perempuan disebut Wewe. Wewe kawin dengan Genderuwo. Tukang Kayu itu bercerita kepada Geerz “bahwa suatu waktu ada anak mereka menghilang, akhirnya ditemukan di belakang rumah”. Lajutnya, “Anak tersebut ketakutan karena melihat ada Genderuwo menakut-nakutinya. Genderuwo itu hanya bisanya menakut-nakuti orang…”. Itulah cara pandang animisme masyarakat Jawa yang dianut khususnya kaum Abangan dimana Joko Widodo juga (mungkin?) tidak terlepas dari cara pandang animism ketika berada dalam dan dkategorikan sebagai kelas Abangan.<br />
<br />
Tentu saja cara pandang Animisme bertolak belakang dengan Kaum Santri yang mengandalkan Spiritualitas Agama Islam dan Santri NU secara tegas menolak penghayatan terhadap apa yang disebut dunia Tahayul dan Musyirik.<br />
<br />
Pertanyaannya adalah mengapa Joko Widodo sedemikian bernafsu mendekati Kaum Santri khsuusnya NU Struktural? Jawabanya sederhana, Joko Widodo sudah paham betul bahwa Islam NU Ahlus-Sunnah wal Jama'ah sangat tidak menyukai paham radikal. Maka bisa diduga dengan rekayasa memunculkan istilah-istilah seperti “Islam Nusantara”, “Islam Transnasional”, bahkan survei “Kelompok Mesjid Berpapar Radikal” atau termasuk Wawancara Said Aqil dengan menyatakan kelompok pendukung pasangan capres nomor 02 adalah kelompok radikal.<br />
<br />
Itulah cara dan strategi intelijen khususnya Badan Intelijen Negara (BIN) sebagaimana terlihat dari pernyatan juru bicara BIN Wawan Purwanto tentang 41 Mesjid Terpapar Radikal. Framing radikalisme itu diciptakan untuk mempermudah seorang Joko Widodo yang berasal dari seorang Abangan untuk mencomot dan bahkan menumpang atribut NU (sesuai kamus KKBI, atribut bisa juga orang dan pikiran) termasuk Tokoh NU Mahruf Amin untuk sekedar kepentingan politiknya. Dapat dibayangkan NU bisa diperdaya oleh Joko Widodo yang bukan siapa-siapa dalam NU bisa mempengaruhi tiga pimpinan utama NU, Mahruf Amin, KH, Miftachul Ahyar dan KH Said Aqil bergerak melakukan indoktrinasi ke seluruh jajaran structural NU baik Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan, Desa sampai pondok pesanteran bahkan mereka mengobarkan berita yang cenderung hoax seperti NU di jaman Joko Widodo NU Naik Kelas, padahal jaman Joko Widodo umat Islam dibikin bentrok dan berjuta-juta orang NU berbondong-bondong menyarakan ketidakadilan di Monas.<br />
<br />
Bayangkan tokoh utama NU Struktural saja berkomentar kurang professional seperti “Joko Widodo adalah orang pertama dalam sejarah Indonesia yang mengambil orang NU” sebagai Wakil Presiden sebagaimana disampaikan oleh Mahruf Amin. Beliau lupa atau tahu tapi sengaja (berbohong?) kalau Ibu Mega pernah didampingi oleh Hamzah Haz, juga Hazim Muzadi dalam percalonan Presiden. Bisa jadi jika dilihat dari sepintas melihat situasi tersebut di atas maka NU berada dalam Tumbal Politik Kekuasaan. 3 alinea di atas sebagaimana yang dilukiskan oleh Drs. Choirul Anam.<br />
<br />
Dalam kurung waktu 4,5 tahun Joko Widodo pimpin negara ini, salah satu kesalahan terbesar adalah berbagai legasi (warisan) Gus Dur tentang Hak Asasi Mansusia, Demokrasi, Kediggayaan sipil serta Inpendensi NU dirusak dan dibenamkan oleh Joko Widodo.<br />
<br />
1). Gus Dur penentang sistem binomial militer sebagai panglima pertahanan dan panglima politik pembangunan. Gus Dur menginginkan militer tidak boleh masuk wilayah sipil. Ketika Joko Widodo membuka pintu agar militer memasuki ruang sipil tentu saja melawan dan menentang komitmen Gus Dur. Saya menyaksikan kementerian Transmigrasi mengembalikan 18 perwira militer yang telah menduduki jabatan sipil yang saat itu panglima TNI adalah Wiranto. Itulah perintah Gus Dur kepada Menteri Transmigrasi Alhilal Hamdi.<br />
<br />
2). Sistem Roling Panglima TNI secara bergilir untuk semua angkatan, namun Jaman Joko Widodo ketika menunjuk Jenderal Gatot Nurmantjo dari AD dimana seharusnya giliran angkatan Udara. Joko Widodo merusak tatanan.<br />
<br />
3. Pengekangan Kebebasan Sipil (sivil liberties) seperti sulitnya menyampaikan pendapat, pikiran dan perasaan. Berbagai penangkapan terhadap para ulama dan aktivis tentu saja menentang paradigma berfikir Gus Dur.<br />
<br />
4. Media mainstream yang dikuasai oleh para kelompok kapitalis diintervensi untuk dijadikan sebagai alat pembungkaman, penyampaian informasi artikulator kepentingan penguasa, alat propaganda penguasa untuk melestarikan kekuasaan. Tentu saja bertentangan dengan jiwa dan spirit Gus Dur.<br />
<br />
5. Yang terpenting untuk diketahui adalah Gus Dur sangat taat betul pada Kittah NU 1926. Dalam perjalanan politiknya termasuk ketika menjadi Presiden, saat Megawati menggoyang jabatannya, Gus Dur tidak pernah memanfaatkan warga NU termasuk Banser. Sangat kontras sekali dengan sat ini, meskipun Joko Widodo bukan orang NU, banyak orang menduga Joko Widodo terlihat semacam memanfaatkan Banser dan NU Struktural untuk kepentingan politiknya termasuk merusak Ukuwah Islamiah (umat Islam lainnya), Insaniah (kami orang Papua, Saya, Rocky Gerung, dll) dan bahkan Wathoniah, termasuk Ketua Umum Said Aqil secara organisatoris Ketua Rois Am dan Maruf Amin tidak boleh berpolitik dan bertentangan dengan Kittah NU 1926. Kecuali kalau mereka memutuskan masuk PKB.<br />
<br />
Saya mesti sampaikan bahwa tidak ada tautan historis antara Joko Widodo dan NU. Namun demikian apakah warga NU akan mengikuti sepak terjang yang dimainkan sekelompok kecil yang dimotori KH. Said Aqil dll untuk mempengaruhi perilaku politik NU?. Belum tentu!. Karena fakta hari ini menunjukkan bahwa untuk merebut kekuasaan, uang dan jabatan mesti berada dalam pusaran partai politik. Khususnya perilaku politik Kiai NU yang dilukiskan secara baik oleh para ahli seperti K. Bertens, Marthin Van Brusnen, dan Chumairoh. Lahirnya PKB yang dimotori oleh para Kiai telah menegaskan bahwa Independensi NU bersifat semu (pseudo), perintah tidak bersifat sabda, wahyu atau devine right. Maka warga NU harus masuk partai politik seperti PKB, jangan membawa organisasi NU yang menjadi induk semangnya.<br />
<br />
Warga NU tetap akan memilih Kedua calon Presiden tetapi lebih khusus Prabowo Subianto yang telah puluhan tahun dekat dengan ulama, Gus Dur pun pernah menitipkan untuk warga NU dengan menilai keikhlasan Prabowo untuk bangsa dan negara, apalagi calon yang diusung melalui hasil itjimah ulama. Maka tidak ada jaminan semua suara NU ke Joko Widodo. Oleh karena Joko Widodo adalah seorang Abangan yang mencomot atribut warga NU dan menentang legasi Gus Dur maka dapat dimakhlumi seandainya mayoritas warga NU menghukum Joko Widodo dengan tidak memilihnya pada tanggal 17 April 2019.<br />
<br />
Siapa Natalius Pigai dan seberapa jauh Pengetahuan tentang NU?:<br />
<br />
Natalius Pigai, Gusdurian Asli, Staf Khusus Menakertrans 1999-2004 (Jaman Gus Dur), Pernah dicalonkan PKB untuk DPR RI (saksi Kofifah Indar Prawangsa Ketua Bappilu). Pernah antar uang 1 miliar bantuan Gus Dur untuk KR Papua Tahun 2000. Pernah Pertemukan Gus Dur dan Tokoh2 Utama Papua (Thom Beanal, Wili Mandowen, Agus Alua, Taha Alhamid, dll). Berasal dari Suku Meepago (Nabire, Paniai, Dogiyai, Timika, Deiyai), 4 Bupati adalah dari PKB. 3 Periode sudah mengutus 1 anggota DPR RI PKB dari basis massa daerah saya.<br />
<br />
NB: sebelum orang protes, saya perbaiki, PKI secara Partai tidak fusi ke partai PDI. Dengan ini Sy telah ralat. (NP)Phaul Hegerhttp://www.blogger.com/profile/11849891513433886497noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1632825501638395157.post-49376577679289905342019-03-19T19:51:00.001-07:002019-03-19T19:51:30.084-07:00Roni Candra: Membudayakan Perilaku Politik Bersih<b>Roni Candra</b><br />
<i>Mahasiswa Jurusan Sejarah Universitas Andalas Padang</i><br />
<br />
PEMILIHAN Umum 2019 pada 17 April tinggal menghitung hari. Pesta demokrasi ini akan tercatat dalam tinta emas demokrasi dunia dengan istilah the biggest election in the world. Indonesia memiliki wilayah yang luas dan penduduk yang mencapai 264 juta.Ditambah juga dengan tiga pemilihan umum akan diadakan serentak.<br />
<br />
Namun dalam menyambut pesta demokrasi kali ini masih banyak hal yang menjadi persoalan kita. Salah satunya adalah kurang pahamnya sebagian masyarakat akan maknademokrasi. Permasalahan seperti golput (golongan putih) adalah virus yang sudah lama menjadi akar dari masalah demokrasi di Tanah Air. Sejak dimulainya pemilihan umum secara langsung oleh rakyat pada 2004 golput selalu muncul dengan jumlah yang signifikan.<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEie0p5jHsRJIGvfUrGRsCYCqsebDo8h9eTDP_aM8IqTSos42mW9FbZn_k2szo_gxWrpUJz1pgyu5bbE9a6TwgSiY4tI7KhbuJVXV46QkFUXEGs1ea-YaaxR7n3aPFUSMoYmApaweqVM642E/s1600/membudayakan-perilaku-politik-bersih.webp" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="413" data-original-width="620" height="426" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEie0p5jHsRJIGvfUrGRsCYCqsebDo8h9eTDP_aM8IqTSos42mW9FbZn_k2szo_gxWrpUJz1pgyu5bbE9a6TwgSiY4tI7KhbuJVXV46QkFUXEGs1ea-YaaxR7n3aPFUSMoYmApaweqVM642E/s640/membudayakan-perilaku-politik-bersih.webp" width="640" /></a></div>
<br />
Mayoritas masyarakat yang golput beralasan bahwa memilih atau tidak memilih, mereka juga tidak mendapatkan keuntungan apa-apa dari pemilihan umum tersebut. Sikap politik sebagian masyarakat Indonesia dewasa ini terbilang apatis. Mereka hanya melihat pesta demokrasi dari kacamata untung dan rugi. Padahal, setiap suara yang diberikan sangat dalam rangka memilih pemimpin terbaik.<br />
<br />
Di saat kecenderungan masyarakat untuk golput masih tinggi, lantas siapa yang layak disalahkan? Pemerintah, masyarakat, atau para calon wakil rakyat yang hanya menjadikan pemilu sebagai suatu kontestasi politik prosedural atau hanya ajang untuk mencari eksistensi belaka? Ada yang lebih penting dari sekadar mencari siapa yang salah, misalnya aktif mendorong Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk melakukan sosialisasi secara masif. Selama ini pemerintah,padahal telah berusaha menekan angka golput. Namun, sebagian masyarakat masih kurang tergugah.<br />
<br />
Penyebab lain orang cenderung golput adalah ulah buruk oknum elite politik yang kadang melukai nilai-nilai demokrasi. Tak jarang ada yang melakukan politik uang.Masyarakat pun ada yang cenderung mendiamkan politik kotor tersebut dengan alasan mereka juga membutuhkan uang.Lalu kesadaran memilih tidak lagi didasarkan pada kewajiban moral sebagai bangsa yang tengah membangun demokrasi, akan tetapi hanya karena uang atau sembako yang diberikan oleh para politisi “cacat” visi tersebut.<br />
<br />
Dengan kata lain, masyarakat yang terbiasa dengan pola diberi uang dan sembako, akhirnya baru akan memilih di pemilu atau pilkada ketika mereka mendapatkan uang atau sembako. Suatu saat, ketika uang dan sembako mandek, mereka akan kembali pada prinsip lama, “untuk apa memilih kalau tidak ada untungnya”. Elite seharusnya membudayakan perilaku politik bersih agar masyarakat bisa dididik bertindak benar dan menghindari ihwal yang mencederai nilai demokrasi.<br />
<br />
Pemerintah juga seyogianya terus menerus memberikan edukasi dan pendidikan yang mendasar terhadap pemahaman berdemokrasi kepada masyarakat. Dengan begitu akan muncul kesadaran akan pentingnya partisipasi politik di pemilu dalam upaya melahirkan pemimpin yang amanah dan bertanggung jawab. Pada akhirnya akan muncul kesadaran bahwa golput merugikan dan mencederai masa depan demokrasi kita.(thm).<br />
<br />
Sumber:https://nasional.sindonews.com/read/1386887/18/membudayakan-perilaku-politik-bersih-1552611273Phaul Hegerhttp://www.blogger.com/profile/11849891513433886497noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1632825501638395157.post-65463840454624480332019-03-18T19:46:00.000-07:002019-03-19T19:46:15.441-07:00M Sya'roni Rofii : Mencegah Pengulangan Tragedi Christchurch<b>M Sya'roni Rofii </b><br />
<i>Dosen Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, Vice President OIC Youth Indonesia</i><br />
<br />
SOSOK Brenton Tarrant seketika menjadi bahan perbincangan masyarakat dunia karena aksi terornya yang menewaskan 49 orang dan 48 lainnya terluka. Aksi biadab Brenton Tarrant yang menembaki sasarannya secara membabi buta disiarkan langsung melalui live streaming Facebook. Sebuah aksi yang membuat banyak orang kaget dan bertanya adakah manusia tega melakukan hal demikian.<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgEtDEFGlnCAH93mvphyphenhyphenXZFTS7rvjXxPeNCgtvyj587XskdUzCZAufd6lMvnAwNU015Fd_Yw8THmRu2EUaZTGyp68zQKrpm97JeAjVpm3_Ul27nh23RGfOzUU-bZEvsCeATel52CP82_hof/s1600/Brenton+Tarrant.webp" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="413" data-original-width="620" height="426" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgEtDEFGlnCAH93mvphyphenhyphenXZFTS7rvjXxPeNCgtvyj587XskdUzCZAufd6lMvnAwNU015Fd_Yw8THmRu2EUaZTGyp68zQKrpm97JeAjVpm3_Ul27nh23RGfOzUU-bZEvsCeATel52CP82_hof/s640/Brenton+Tarrant.webp" width="640" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Brenton Tarrant, pelaku penembakan jamaah salat Jumat di Masjid Al-Noor, Selandia Baru. Foto/Heavy.com</td></tr>
</tbody></table>
<br />
Aksi Brenton Tarrant membuat Selandia Baru terluka dan berduka. Tangis salah seorang inspektur polisi, Naila Hassan, yang merupakan perwira polisi berlatar belakang Muslim sudah lebih dari cukup untuk menggambarkan betapa terpukulnya komunitas Muslim akibat kejadian itu.<br />
<br />
Bagi Naila Hassan, kejadian itu seperti membangkitkan memori lama tentang sulitnya menjadi Muslim. Sebab sejak dua dekade silam sejak bergabung dengan kepolisian, ia harus menyembunyikan identitas keagamaannya, namun setelah adanya transformasi di tubuh kepolisian dan bisa menyatakan rasa bangga sebagai seorang Muslim secara terbuka, akan tetapi justru tercoreng oleh aksi keji penganut paham ultranasionalis.<br />
<br />
Setelah mengetahui kejadian penyerangan, Perdana Menteri Selandia Baru, Jacinda Ardern, langsung menyatakan sikap belasungkawa kepada komunitas Muslim serta mengutuk tindakan pelaku. Politikus partai buruh itu juga menyatakan akan mengkaji ulang undang-undang kepemilikan senjata yang selama ini memungkinkan warga sipil memiliki senjata (ABC, 15/03; CNN, 15/03).<br />
<br />
<h2>
Pengaruh Islamophobia</h2>
<br />
Sangat sulit mengabaikan fakta bahwa tindakan Brenton Tarrant tidak ada kaitannya dengan Islamophobia. Dari manifesto yang juga tersebar di jejaring sosial, sang pelaku melakukan tindakannya berdasarkan pada motivasi ingin mengusir komunitas yang dianggap pendatang dan komunitas dianggap bukan bagian dari mereka. Singkatnya, manifesto yang tersebar memiliki intensi untuk menyerang dan mengusir mereka yang tidak seetnis atau seagama dengan dia.<br />
<br />
Peristiwa ini tentu saja mengingatkan kita pada peristiwa-peristiwa yang sama terjadi di berbagai belahan dunia menunjukkan sebuah fakta bahwa nuansa kebencian berlatar belakang ras dan agama kian meningkat. Kasus ini hanya bagian kecil dari Islamophobia yang terjadi di negara-negara Amerika dan Eropa, yang jumlah komunitas Muslimnya dari tahun ke tahun mengalami peningkatan secara signifikan. Islamophobia adalah bentuk kebencian pada komunitas Muslim dalam bentuk diskriminasi, rasisme, ujaran kebencian, serangan fisik dan kampanye anti-muslim yang menemukan puncaknya sejak persitiwa 11 September 2001 (John Esposito, 2011).<br />
<br />
Sebagian sarjana telah berupaya mengurangi tensi di tengah masyarakat yang multikultur dengan memberikan pemahaman objektif tentang eksistensi Islam sebagai agama yang cinta damai serta bisa hidup di tengah masyarakat liberal sekalipun. Sarjana dari Barat, seperti John Esposito dan Karen Armstrong adalah beberapa di antara sarjana yang konsen dengan studi Islam dan perkembangan Islam di Barat. Mereka hadir sebagai ilmuwan yang memberikan pencerahan pada Barat agar terhindar dari benturan peradaban yang selama ini mendominasi wacana di media-media mainstream masyarakat Barat.<br />
<br />
Namun sayangnya, langkah mereka tidak lebih cepat diterima dibanding narasi kebencian penuh stigmatisasi dari pemimpin negara dan para politisi yang memang menjual isu-isu anti-Islam untuk meraih popularitas dan simpati pemilih dari pemilih ultranasionalis.<br />
<br />
<h3>
Meredam Kebencian</h3>
<br />
Belajar dari perstiwa tersebut, maka penting bagi Pemerintah Selandia Baru dan pemerintah di negara-negara yang dihuni warga multikultur untuk mengambil langkah-langkah konkret mencegah terjadinya kejadian serupa di masa depan dengan cara. Pertama, Pemerintah Selandia Baru harus melakukan amandemen undang-undang yang membebaskan peredaran senjata dan membatasi akses warga sipil untuk memiliki senjata.<br />
<br />
Kedua, Pemerintah Selandia Baru perlu membangun komunikasi dengan semua pemimpin komunitas etnis dan agama agar perasaan sesama warga Selandia Baru semakin erat sehingga mampu membentengi diri dari upaya pecah belah yang kerap disampaikan kelompok ultranasional semacam Anders Behring Breivik di Nowegia, Geert Wilders di Belanda, dan Brenton Tarrant di Selandia Baru.<br />
<br />
Ketiga, para pemimpin negara atau pemimpin politik semestinya harus mengakhiri menggunakan sentimen agama dan ras untuk meraih keuntungan politik elektoral. Sebab menggunakan isu kebencian bernuansa ras dan agama seperti yang kerap disampaikan Donald Trump dalam beberapa kesempatan dan senator Australia Fraser Anning beberapa waktu lalu, hanya akan menanam benih kebencian yang dampak kerusakannya sangat dalam.<br />
<br />
Keempat, Pemerintah Selandia Baru perlu membangun kerja sama dengan negara-negara di sekitarnya, termasuk dengan Pemerintah Indonesia yang memiliki leverage sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia serta memiliki ormas keagamaan moderat, seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, yang bisa membantu menyemai nilai-nilai Islam moderat di tengah masyarakat multikultur serta mengikis benih-benih kebencian yang muncul karena disebabkan kesalahpahaman.<br />
<br />
Kelima, perusahaan sosial media, seperti Facebook dan Twitter, perlu menjadi bagian meredam propaganda kelompok ultranasionalis yang mengusung kebencian dengan cara memblok konten-konten berpotensi menciptakan kerusakan dan disharmoni di tengah masyarakat.<br />
<br />
Baru-baru ini kita telah menyaksikan sejumlah gambar menarik seputar tindakan simpatik warga negara Selandia Baru yang berbondong-bondong datang ke masjid untuk menyatakan sikap bahwa mereka hadir di depan masjid untuk menjaga komunitas Muslim yang akan melaksanakan ibadah. Sikap warga yang mengambil inisiatif sendiri untuk datang menjaga rumah ibadah komunitas lain sudah lebih dari cukup untuk menguatkan bangsa Selandia Baru untuk tangguh melawan terorisme.<br />
(maf)<br />
<br />
Sumber:https://nasional.sindonews.com/read/1387969/18/mencegah-pengulangan-tragedi-christchurch-1552954714/Phaul Hegerhttp://www.blogger.com/profile/11849891513433886497noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1632825501638395157.post-63556858839714218932019-03-18T18:20:00.005-07:002019-03-18T18:20:58.473-07:00Sarkawi B Husain: Ketika Banjir Menjadi Parade Tahunan<b>Sarkawi B Husain </b><br />
<i>Pengajar Sejarah Lingkungan Departemen Ilmu Sejarah </i><br />
<i>Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga</i><br />
<br />
<b>PADA</b> 7 Maret lalu sebanyak 17 kabupaten di Jawa Timur dilanda banjir dengan intensitas yang cukup tinggi. Belum usai penanganan seluruh wilayah terdampak banjir tersebut, kini kita dikejutkan dengan banjir bandang yang melanda Sentani, Jayapura, Papua.<br />
<br />
Menurut laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), korban yang meninggal dalam bencana ini sebanyak 73 orang dan lainnya luka-luka. Hingga saat ini evakuasi, pencarian, dan penyelamatan korban terus diintensifkan untuk mencari korban. Tim SAR gabungan masih melakukan evakuasi dan belum semua daerah terdampak dijangkau karena tertutup pohon, batu, lumpur, dan material banjir bandang.<br />
<br />
Bencana banjir yang sangat dahsyat ini mengingatkan kita bencana alam yang sama di beberapa daerah yang terjadi tahun lalu. Banjir menyebabkan beberapa wilayah longsor, masyarakat meninggal dunia, luka-luka, mengungsi, dan merusak rumah dan infrastruktur. Banjir seolah menjadi parade tahunan yang kita tidak berdaya untuk mengatasinya.<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh9Dmkw4TAxBRXLRZ-vMS08hVuI6D5pWjNils9lUm4V3PNAYFIYIEIYsyuDnE5mpAKhnGMuCp5hzFCADr6IVY2D1NKOtHB4C8qorOGP99DlluVc6dhlu-ods-hMHyzY7oMSPIBNrmODO9bj/s1600/Belum+usai+penanganan+seluruh+wilayah+terdampak+banjir+tersebut%252C+kini+kita+dikejutkan+dengan+banjir+bandang+yang+melanda+Sentani%252C+Jayapura%252C+Papua.webp" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="413" data-original-width="620" height="426" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh9Dmkw4TAxBRXLRZ-vMS08hVuI6D5pWjNils9lUm4V3PNAYFIYIEIYsyuDnE5mpAKhnGMuCp5hzFCADr6IVY2D1NKOtHB4C8qorOGP99DlluVc6dhlu-ods-hMHyzY7oMSPIBNrmODO9bj/s640/Belum+usai+penanganan+seluruh+wilayah+terdampak+banjir+tersebut%252C+kini+kita+dikejutkan+dengan+banjir+bandang+yang+melanda+Sentani%252C+Jayapura%252C+Papua.webp" width="640" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Belum usai penanganan seluruh wilayah terdampak banjir tersebut,<br />kini kita dikejutkan dengan banjir bandang yang melanda Sentani, Jayapura, Papua. Foto/SINDOphoto/Dok</td></tr>
</tbody></table>
<br />
Dari berbagai fenomena banjir yang terjadi selama ini, beberapa hal dapat disimpulkan. Pertama, banjir merupakan bencana yang paling banyak terjadi dan paling banyak menimbulkan kerugian. Data yang dirilis oleh BNPB pada akhir 2018 misalnya, dari 2.572 bencana yang terjadi di Indonesia, sebagian besar adalah bencana banjir. Bencana ini juga merusak puluhan hingga ratusan fasilitas ibadah, kesehatan, dan pendidikan.<br />
<br />
Kedua, dalam banyak kasus, banjir terjadi tidak hanya karena ketidakmampuan sistem drainase dalam menerima limpahan air hujan, tetapi juga berasal dari banjir kiriman. Dalam beberapa tahun terakhir misalnya banjir di kawasan barat Surabaya berasal dari luapan Kali Lamong yang berhulu di Kabupaten Lamongan dan Mojokerto yang berawal dari Pegunungan Kendeng.<br />
<br />
Adapun hilirnya berada di perbatasan antara Kota Surabaya dan Kabupaten Gresik dan bermuara di Selat Madura. Daerah aliran sungai ini memiliki luas 720 km2 dengan panjang alur sungai 103 km. Hal yang sama terjadi di Jakarta yang tiap tahun mendapat kiriman banjir dari Bogor.<br />
<br />
Ketiga , wilayah banjir tidak lagi hanya didominasi oleh wilayah perdesaan dan pinggiran, tetapi juga merambah wilayah perkotaan seperti Jakarta, Semarang, Bandung, Surabaya, Lampung, dan banyak kota lain. Untuk dua kota pertama, banjir sudah menjadi langganan dan bahkan sudah menjadi parade tahunan, khususnya jika musim hujan tiba.<br />
<br />
Sementara itu, kota-kota pesisir seperti Surabaya, Gresik, Tuban, dan Lamongan juga tidak dapat menghindar dari salah satu bencana hidrometereologi yang paling banyak merugikan ini. Di Tuban empat kecamatan dan 12 desa tenggelam akibat luapan Sungai Bengawan Solo.<br />
<br />
<b>Banjir Perkotaan</b><br />
<br />
Menyikapi semakin seringnya kota-kota dilanda banjir, pada 20 Januari 2014 beberapa ilmuwan bertemu dalam sebuah lokakarya penanganan banjir di kota-kota di Asia yang sedang mengalami transisi dengan cepat. Lokakarya ini diselenggarakan di Singapura oleh Jurnal Pacific Affairs dan Asia Research Institute, National University of Singapore.<br />
<br />
Dalam pengantar lokakarya disebutkan bahwa transisi perkotaan yang cepat di Asia telah mengakibatkan lebih dari 1,5 miliar orang pada awal abad ke-21 berada di perkotaan dan menyumbang lebih dari setengah dari penduduk perkotaan dunia.<br />
<br />
Masyarakat perkotaan Asia ditandai oleh orientasi pesisir yang kuat sehingga semakin rentan dilanda bencana lingkungan seperti banjir, badai, dan tsunami. Di antara bencana lingkungan itu, banjir perkotaan berdampak langsung pada kehidupan dan mata pencaharian penduduk di Asia.<br />
<br />
Dalam beberapa literatur disebutkan, pada Juli 2005 banjir di Mumbai, India menewaskan lebih dari 450 orang dan sekitar 150.000 orang terperangkap di kantor, jalan, bandar udara, dan stasiun kereta api. Pada Oktober 2011, banjir yang melanda Bangkok, Thailand menewaskan lebih dari 200 orang. Pada 2013, Jakarta juga dilanda banjir dengan luas wilayah tergenang mencapai 400 km2, 20 meninggal, 33.500 orang mengungsi, dan kerugian ditaksir mencapai Rp20 triliun.<br />
<br />
Sayang sekali, kita selalu gagal belajar dari sejarah. Banjir yang banyak terjadi akhir-akhir ini memiliki pola yang tidak jauh berbeda dengan periode-periode sebelumnya. Akan tetapi, intensitasnya semakin tinggi dan siklusnya semakin pendek.<br />
<br />
Sebagian besar penyebab banjir karena alih fungsi lahan yang masif sejak lima puluh tahun terakhir. Pertambahan penduduk yang tidak terkendali dan perkembangan kota yang cepat dengan tidak disertai dengan perencanaan yang baik menyebabkan banjir dari tahun ke tahun berubah menjadi hantu yang menakutkan banyak penduduk.<br />
<br />
Berbagai upaya pengendalian bukannya tidak dilakukan, tetapi banyak dari upaya itu bersifat parsial dan tidak terkoneksi dengan masalah lingkungan lainnya. Akibatnya, banyak upaya menjadi sia-sia. Karena itu, lokakarya penanganan banjir di National University of Singapore yang menggarisbawahi bahwa banjir harus dilihat sebagai peristiwa yang saling terkoneksi dengan persoalan lainnya penting diperhatikan.<br />
<br />
Dengan kata lain, penanganan banjir seharusnya tidak hanya dilakukan melalui upaya seperti normalisasi sungai, tetapi juga harus memperbaiki seluruh spektrum pelayanan masyarakat seperti pengolahan dan pengelolaan sampah, ruang terbuka, perumahan, transportasi, dan kontrol terhadap penggunaan lahan.(maf)<br />
<br />
Sumber:https://nasional.sindonews.com/read/1387970/18/ketika-banjir-menjadi-parade-tahunan-1552955524/Phaul Hegerhttp://www.blogger.com/profile/11849891513433886497noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1632825501638395157.post-69116329355398034862019-03-10T23:40:00.001-07:002019-03-10T23:55:11.986-07:00Natalius: POPULISME “JOKO WIDODO” ITU LOGIKA SOSIALISME(Spirit Matrialisme, Dialektika, Logika, Hugo Chaves dan Moduro di Venezuela Yang Bangkrut)<br />
<br />
Oleh: Natalius Pigai<br />
<br />
Tulisan ilmiah popular ini tidak bermaksud menyerang pribadi Joko Widodo, apalagi terkait atau dikaitkan dengan berita misteri tentang ideologi politik orang tuanya di masa lalu. Tulisan ini justru membuka cakrawala berfikir dan landasan berfikir kebijkakan populisme Joko Widodo dikaitkan dengan ideologi politik sosialisme. Karena itu berharap ada diskursus.<br />
<br />
Jokowi Panik!. Mungkin itulah kalimat yang tepat disematkan kepada Joko Widodo, Calon Presiden Nomor Urut 01. Rasa kepanikan terlihat dari adanya berbagai janji-janji yang bersifat populis dengan tujuan untuk meningkatkan elektoral. Meskipun pada akhirnya hanyalah janji utopia.<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgByufEQUUH74e6Zx-kuzmhXJR8sPbw36oMnqPfBqwG4_-1Xd4fmh2L5BlaxT-vEXIPZONktFENv1AHORvmYdJFdaLZUgUgclOGZro10gszDHBg6HBjdN71iUQDMSqq0ebT_7tXK7lO_MU/s1600/Komisioner-Komnas-HAM-Natalius-Pigai-dan-Presiden-Jokowi.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="340" data-original-width="650" height="332" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgByufEQUUH74e6Zx-kuzmhXJR8sPbw36oMnqPfBqwG4_-1Xd4fmh2L5BlaxT-vEXIPZONktFENv1AHORvmYdJFdaLZUgUgclOGZro10gszDHBg6HBjdN71iUQDMSqq0ebT_7tXK7lO_MU/s640/Komisioner-Komnas-HAM-Natalius-Pigai-dan-Presiden-Jokowi.jpg" width="640" /></a></div>
Salah satu janji baru Presiden RI Joko Widodo yang menimbulkan kontroversi adalah kartu prakerja untuk masyarakat yang sedang mencari pekerjaan. Sangat kontroversialnya pada janji Jokowi bahwa pemegang kartu tersebut akan menerima gaji selama belum mendapat pekerjaan sebagaimana diucapkan Joko Widodo pekan lalu saat ngopi bareng milenial di Kopi Haji Anto 2 di Kendari, Sulawesi Tenggara, Jumat (1/3/2019). "Kalau belum dapat pekerjaan, kartu itu juga akan memberikan kayak honor, kayak gaji. Tapi jumlahnya berapa masih kita rahasiakan. Nanti," kata Jokowi yang juga merupakan calon Presiden2019.<br />
<br />
Kebijakan populis dengan orientasi memulung elektabilitas bukan hal baru. Presiden beraliran sosialis Hugo Chaves dan dilanjutkan oleh Nicolaus Moduro di Venezuela juga melakukan kebijakan-kebjikan populis menjelang pemilihan Presiden. Kebijakan pemerintah Chavez yang mematok harga kebutuhan pokok, tepung, minyak goreng, sampai keperluan mandi, demi meringankan beban penduduk miskin. Pembangunan infrastruktur dengan menghabiskan sebagian besar anggaran Negara.<br />
<br />
Dampaknya Negara Venezuela terjungkal bebas dalam jurang krisis, reseki ekonomi dan krisis politik. Karena itu tawaran-tawaran program populis lebih cenderung disebabkan karena pemimpin cenderung ambisius dan kehilangan kepercayaan publik. Akibatnya hampir 2 juta jiwa mengungsi mencari kehidupan yang lebih baik di Negara lain seperti Kolombia, Ekuador dan Peru. Mata uang Bolivar tidak lagi berharga setelah US$ 1 setara dengan 248 ribu bolivar. Kejatuhannya telah memicu inflasi yang dapat menyentuh sejuta persen pada akhir 2018. Harga 1 kg daging setara dengan 9,5 juta bolivar dan sebungkus tisu toilet harus dibayar 2,6 juta bolivar. Venezuela terancam Negara gagal.<br />
<br />
Itulah akibat praktik sistem politik sosialisme yang salah oleh Hugo Chaves dan Nikolaus Moduro, telah mengakibatkan anggaran Negara dalam keadaan tidak sehat karena pendapatan nasional hanya mengandalkan dari sumber utama minyak. Tahun 2014 Venezuela sudah terancam bangkrut karena tidak mampu memenuhi semua kebutuhan ketika harga minyak jatuh di pasaran.<br />
<br />
Apa yang dipertontonkan oleh Joko Widodo adalah cenderung mengambil kebijakan tanpa konsepsi akademik dan melihat landasan konstitusi khususnya Pasal 33 UUD 1945. Jokowi sebagai Petahana seharusnya yakinkan rakyat Indonesia terkait implementasi janji-janji yang pernah diucapkan 2014, tidak semestinya mengambil kebijakan inkonsitusional, ketika melihat arus migrasi suara dari Joko Widodo ke Prabowo secara masif. Barangkali Joko Widodo tidak boleh hanya mendengarkan masukan dari para anggota Kabinet tanpa nalar, pembantu Joko Widodo lebih cendrung bekerja mengikuti logika ketersediaan anggaran (planning flow money), tetapi logika konstitusi (Policy flow contitution) meraka abaikan. Harus diukur, apakah kebijakan populis sejalan dengan konstitusi dan sistem politik yang dianut oleh Negara Indonesia.<br />
<br />
Dengan demikian, wajar jika saya katakan meskipun Indonesia bukan Negara sosialis tetapi kenyataannya pemerintah ini lebih cenderung mempraktekan sistem sosialisme melalui kebijakan dan program. Dalam konteks ini ada benarnya ketika kebijkan populisme Joko Widodo rakyat terbawah dalam alam pikir dan nafsu materialistis diukur dengan nilai uang, barang dan fisik, bahkan berwicara juga tentang materi, uang dan barang serta berlogika linier tentang materi, uang dan barang sehingga wajar jika kebijakan ini dapat diteropong melalui teori Hegel tentang materialisme, dialektika dan logika.<br />
<br />
Joko Widodo jangan keliru bahwa apa yang ditegaskan dalam Pasal 33 UUD 1945 menyatakan Negara Menguasai artinya negara menguasai dalam konteks “otoritas regulasi dan kebijakan”. Bukan membuat program populisme yaitu negara mengambil sumber daya dan dibagikan kepada rakyat sebagaimana dipraktekan dalam berbagai kartu: Kartu Indonesia Pintar, Kartu Indonesia Sehat, Kartu Prakerja dengan bagi-bagi uang kepada para penganggur, Kartu Belanja, dll.<br />
<br />
Filosofi Pasal 33 UUD 1945 adalah Otoritas Negara untuk mengatur pola hubungan hukum antara Manusia dan Air, Manusia dan Udara serta Manusia dan Tanah. Itulah inti dari jiwa Pasal 33, bukan sebagaimana membagi-bagi sumber daya Negara untuk meninabobokan rakyat ibarat “ bayi dalam buain”. Rakyat Indonesia akan terbuai dalam ketidakmpuan sehingga wajar jika kompentensi sumber daya manusia Indonesia akan makin terpuruk di level dunia. Setiap orang akan berpendidikan asal-asalan menyebabkan kompetensi pengetahuan (knowledge), kompetesi Ketrampailan (Skills) dan Kompetensi Mental dan Moral (attitude) akan terdegradasi ke titik terendah. Kita akan menyaksikan ketika indeks persaingan global (global competiveness index) terendah di antara negara-negara lain.<br />
<br />
Para Punggawa kuasa tentu harus menyadari bahwa tidak ada praktek sosialisme yang sukses di dunia ini tanpa fundamental ekonomi kuat termasuk memperkuat basis perekomian melalui produktifitas domestik baik sektor migas dan nonmigras, sektor jasa, industri dan agrikultur. Kesalahan fatal Venezuela adalah 95 persen pendapatan Negara hanya mengandalkan ekspor minyak, sedangkan sumber lain diabaikan. Indonesia juga sedang mengalami nasib yang sama seperti Venezuela ketika Joko widodo tidak mampu meningkatkan eksport non migas. Berbagai kegagalan Joko Widodo terkait janji menghentikan import menunjukkan ketidakmampuannya membawa Indonesia yang berdikari, mandiri dan berdaulat.<br />
<br />
Kebijakan populisme bernafas sosialisme tidak mampu menghadapi arus kapitalisme dan liberalisme dibawah payung punggawa ekonomi dan politik dunia (WTO, IMF, WB bahkan PBB). Praktek sosialisme ujama di Tanzania baik Tanggayika dan Zansibar dibawah kepemimpinan Julius Nyerere seorang professor Pertaniaan dengan menggerakan nasionalisme petani di desa (ujama) dan pernah dikuti oleh pemerintah Suharto melalui transmigrasi dan PIR juga gagal, serta China dibawah pimpinan Mao Zedong akirnya juga menyebabkan rakyat Tiongkok menderita, mencari hidup dan makan di Negara tetangga di tahun 1960-an.<br />
<br />
Itulah kegagalan praktek sosialisme yang sudah tidak kompetitif dan terkubur di abad ke 20. Sistem sosialisme telah membuat orang menjadi bodoh dan pemalas, apalagi ditengah arus liberilasi, globalisasi dan kompetisi dalam dunia tanpa batas (borderless nations) jika menyitir Kenichi Ohmae.<br />
<br />
Pertanyaannya adalah mengapa Joko Widodo begitu gampang mengumbar janji meskipun menyadari bahwa janji itu hanya sebuah cita-cita utopia perubahan?. Sebagaimana 66 Janji Joko Widodo Presiden RI 2014-2019 yang pernah dengan mudah diucapkan, enak didengar, namun sulit diwujudkan. Seharusnya dalam masa kampanye ini Joko Widodo mesti meyakinkan kepada rakyat Indonesia seberapa jauh implementasi kinerja dan prestasi atas 66 janji tersebut. Joko Widodo malah menawarkan janji-janji baru yang bersifat populis bernafas sosialis yang utopis dan membawa Indonesia diambang kebangkrutan.<br />
<br />
(Natalius Pigai, Kritikus dan Aktivis Kemanusiaan)Phaul Hegerhttp://www.blogger.com/profile/11849891513433886497noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1632825501638395157.post-45513624387282263382019-03-02T16:03:00.000-08:002019-03-02T16:03:13.397-08:00Tulisan Pemeluk Katolik yang Menentang Kata Kafir diganti Non Muslim<b>SAYA, PEMELUK KATOLIK, MENENTANG KATA KAFIR DIGANTI NON-MUSLIM</b><br />
<br />
Rekomendasi mengubah istilah kafir menjadi non-muslim ini sungguh sia-sia belaka. Saya, sebagai penganut Katolik, menuntut istilah kafir tetap dipertahankan.<br />
<br />
Sebuah dunia segala sempurna punya hikayat. Di sana, bentuk bibir setiap manusia satu ragam, yaitu membentuk sesungging senyum. Sudah default begitu, tidak bisa tidak. Setiap bayi yang lahir, selalu punya bentuk yang sama. Kekhasan ini sudah dimulai bermilenia yang lalu. Tidak ada yang tahu secara pasti. Namun satu hal yang pasti, semua manusia menikmati wabah senyum ini.<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhRaa94j0o7xb1BDrgZ3Iq2YX07Y0-oToIADWpWJm7bB0-Mszr8QAiwJSNufFJIs02fvuYUZKQtSz9Qnd5qR3X-KfuazG8n-zYPyt6d4YEHccnS7jK-QwlPMbtMKFxak0RCnUOMeFCaWP06/s1600/katolik.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="500" data-original-width="759" height="422" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhRaa94j0o7xb1BDrgZ3Iq2YX07Y0-oToIADWpWJm7bB0-Mszr8QAiwJSNufFJIs02fvuYUZKQtSz9Qnd5qR3X-KfuazG8n-zYPyt6d4YEHccnS7jK-QwlPMbtMKFxak0RCnUOMeFCaWP06/s640/katolik.jpg" width="640" /></a></div>
Sudah selalu tersenyum, pokok pembicaraan sehari-hari adalah soal bercocok tanam, merawat sapi dan kerbau, menengok orang yang sakit, hingga menjaga irigasi tetap lancar. Mereka akan gelisah, lalu tahu diri, ketika pokok pembicaraan sudah menyenggol soal agama. Mereka lantas berbisik-bisik, supaya tidak terdengar orang lain. Bahkan, saking risihnya, mereka tak mau berbicara soal agama.<br />
<br />
Namun bukan berarti agama itu tidak ada. Mereka membicarakannya di ruang-ruang yang sunyi, di kamar-kamar tertutup. Seorang diri, mereka memuji Tuhan. Sebetulnya tidak sendirian, karena mereka sedang berkomunikasi dengan Tuhan. Secara intim dan terbuka. Agama adalah koridor tertutup, dan hanya terbuka kepada hati masing-masing, dan Tuhan masing-masing.<br />
<br />
Mereka saling mengabarkan waktunya beribadah di jam-jam tertentu. Suaranya lantang, bergema ke segala penjuru negeri. Si pelantang punya suara merdu, memanggil karib dan saudara untuk segera beribadah. Ada lagi pemeluk agama lain, menggunakan semacam penanda yang berdentang setiap misa hendak dimulai. Gemanya lebih ringan, namun terdengar jelas di hati masing-masing pemeluk.<br />
<br />
Antara pemeluk agama yang berbeda, mereka menggunakan panggilan yang sama, yaitu “saudaraku”. Tanpa sematan “non-“ atau “kafir” atau “bukan golongan kami”. Dunia segala sempurna itu memancarkan kebahagiaan dan kedamaian. Begitu seterusnya sampai akhir zaman tiba dan semua manusia pergi ke surga.<br />
<br />
Sebuah dunia bernama Indonesia punya hikayat yang berbeda. Kegaduhan dan konflik adalah bumbu. Namanya juga hidup, katanya tak menarik kalau tidak ada “bumbu”. Because life is never flat, katanya. Makanya, segala hal perlu diperdebatkan, bahkan sampai soal koridor privat, semacam agama, misalnya.<br />
<br />
Baru-baru ini, Munas Alim Ulama dan Konferensi Besar NU yang digelar di Ponpes Miftahul Huda Al Azhar, Citangkolo, Banjar, Jawa Barat, memberi beberapa rekomendasi. Salah satunya adalah menghentikan penggunakan istilah kafir. NU, lewat Ketua Umum PBNU Said Aqil Siraj, menyarankan kita semua menggunakan istilah non-muslim, alih-alih kafir,<br />
<br />
Said Aqil mengatakan istilah kafir tidak dikenal dalam sistem kewarganegaraan pada suatu negara dan bangsa. Maka setiap warga negara memiliki hak yang sama di mata konstitusi. Karena itu yang ada adalah non-muslim, bukan kafir.<br />
<br />
Said Aqil mengisahkan, istilah kafir berlaku ketika Nabi Muhammad di Mekah, untuk menyebut orang yang menyembah berhala, tidak memiliki kitab suci, dan agama yang benar. “Tapi Ketika Nabi Muhammad hijrah ke Madinah, tidak ada istilah kafir bagi warga Madinah. Ada tiga suku non-muslim di madinah, di sana disebut non-muslim, tidak disebut kafir,” kata Said menjelaskan.<br />
<br />
Wah, sungguh menyejukkan kalimat Said Aqil dan rekomendasi dari NU. Terima kasih. Namun, perlu saya tegaskan di sini, saya, pemeluk agama Katolik, menolak istilah kafir dihapus.<br />
<br />
Meminjam kalimat Abdul Moqsith Ghazali, “…penyebutan kafir dapat menyakiti warga non-muslim di Indonesia,” saya kira saya tidak tersakiti. Toh rekomendasi semacam ini muskil dilakukan. Alim ulama, ustaz, pemimpin agama Islam boleh merekomendasikan, tapi di akar rumput, tanpa perubahan yang radikal, rekomendasi itu pasti dianggap angin lalu.<br />
<br />
Mereka yang sudah kadung dengan pemeluk agama di luar Islam, bakal sulit menerima rekomendasi NU. Ini bukan pesimif. Ini realistis. Lha wong namanya saja “rekomendasi”. Tidak dijalankan pun ya tidak kena yang namanya dosa.<br />
<br />
Alasan kedua, kata kafir yang dianggap “menyakiti warga non-muslim di Indonesia” justru menjadi keuntungan bagi kami golongan kafirun. Bukankah doa mereka yang teraniaya itu lebih didengar oleh Tuhan? Makanya, tolong, jangan ambil jalan pintas kami ketika sedang memohon kepada Tuhan. Kami tidak perlu sampai nangis-nangis memohon, bahkan sampai mengancam.<br />
<br />
Kami tinggal berbisik, “Bro, tolonglah murid-muridmu ini. Kami sedang dalam kesulitan.” Enak betulan. Sekali lagi, tolong jangan ambil jalan pintas kami.<br />
<br />
Kalau memang ingin sebuah perubahan yang “radikal”, mengapa kita semua tidak menggunakan nama agama secara langsung sebagai rujukan. Alih-alih susah payah menggunakan non-muslim, mengapa tidak langsung bilang, “Mas Yama itu Katolik” bukan “Mas Yama itu non-muslim”. Oiya, saya baru ingat. Di dunia Indonesia, kalau bisa dibikin ribet, ngapain dipermudah.<br />
<br />
Saya berani taruhan tabungannya Agus Mulyadi. Di luar sana, pasti banyak yang lebih suka disebut “Dia Hindu”, “Dia Buddha”, “Dia Kristen”, ketimbang disebut non-muslim. Lebih ringkas dan lebih mudah ditulis ketika bikin artikel.<br />
<br />
Sebagai Katolik yang santai dan luwes, saya nggak masalah disebut kafir. Toh, sebutan itu tidak melunturkan kecintaan Tuhan kepada saya, dan demikian juga sebaliknya. Kata kafir juga nggak bikin saya lalu kejang-kejang, panas dingin, meriang, bisulan, dan gelisah.<br />
<br />
**<br />
<br />
Di sebuah persimpangan jalan menuju surga, warga dari dunia segala sempurna bertemu warga dari dunia bernama Indonesia.<br />
<br />
Warga dunia sempurna, dengan rosario melingkar di lehernya: “Halo, saudaraku, ayo belok kanan. Ngapain belok kiri. Itu ke neraka, lho.”<br />
<br />
Warga dunia Indonesia: “Santai saja, non-muslim. Kami sudah terbiasa, kok.”<br />
<br />
-TAMAT-<br />
<br />
<b>Yamadipati Seno</b><br />
<i>https://mojok.co/yms/ulasan/pojokan/jangan-ganti-kafir-jadi-non-muslim/</i>Phaul Hegerhttp://www.blogger.com/profile/11849891513433886497noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1632825501638395157.post-14367973114191547102019-02-28T16:57:00.000-08:002019-03-01T16:57:21.806-08:00Tajuk: Bangga, Berani, Percaya Diri<b>"KITA harus bangga, berani, dan percaya diri sebagai orang Indonesia. Kita adalah negara yang besar. Bersikaplah sebagai bangsa yang besar." Demikian kutipan Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi. </b><br />
<br />
Kutipan yang begitu menggugah bagi kita semua untuk bangga, berani, dan percaya diri sebagai bangsa Indonesia. Menyimak kutipan di atas, semestinya kita semakin sadar bahwa Indonesia begitu besar bukan hanya wilayahnya, melainkan juga sejarah dan budayanya. Potensi Indonesia juga sangat besar dan bukan lagi akan menjadi bangsa yang besar, namun memang sudah besar.<br />
<br />
Contoh sederhana untuk mengungkapkan rasa bangga kepada Indonesia adalah kemenangan tim nasional sepak bola Indonesia U22 di turnamen AFF U22. Timnas U22 mengalahkan Thailand 2-1, meski sempat tertinggal. Thailand selalu menjadi hadangan bagi Indonesia untuk bisa menjadi juara terutama di sepak bola. Meski dianggap bukan kandidat juara, para penggawa timnas U22 tampil bangga, berani, dan percaya diri. Seperti kutipan Retno Marsudi di atas. Keberhasilan ini menjadi sukacita rakyat Indonesia di tengah beberapa kasus yang menimpa sepak bola Indonesia. Raihan yang diraih anak-anak muda tersebut bisa menjadi bukti bahwa Indonesia adalah negara besar dan kita semua haru bangga, berani, dan percaya diri.<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjS7trRFwEVYvORBFxQVzy4BcphD6O8rKsifBnVZuTYsKsNRqpfXRyjviEG2VlCI2lxWmS0w1G8MDr_f3VIVBWFsFsT4xTFQCQn6uw2ZK-BBWWrGaiZEN4LNoqcQzDbWx1SSpSsi2kRahY5/s1600/indonesia+juara.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="500" data-original-width="750" height="426" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjS7trRFwEVYvORBFxQVzy4BcphD6O8rKsifBnVZuTYsKsNRqpfXRyjviEG2VlCI2lxWmS0w1G8MDr_f3VIVBWFsFsT4xTFQCQn6uw2ZK-BBWWrGaiZEN4LNoqcQzDbWx1SSpSsi2kRahY5/s640/indonesia+juara.jpg" width="640" /></a></div>
Harus diakui masih banyak pihak yang mengungkapkan rasa pesimistis terhadap bangsa ini. Rasa pesimistis ini berangkat dari hal-hal yang dianggap kurang tepat atau salah. Dan, pada 2019 ini ketika suhu politik memanas, rasa pesimistis semakin muncul ke permukaan. Sebenarnya hal yang lumrah dalam iklim demokrasi saat ini. Petahana akan memamerkan keberhasilan dan mencoba menutupi atau memaklumi kekurangan, sedangkan penantang akan mengkritik kebijakan yang dianggap kurang tepat atau salah. Sayang, perbedaan pandangan tersebut sering diikuti dengan hal-hal yang kurang produktif. Yang semestinya ada gagasan dan keberhasilan, namun yang terjadi kadang justru menyerang secara personal hingga cenderung hanya mencari kelemahan lawan. Adu perbedaan pandangan yang diperagakan oleh elite kita menjadi tontonan masyarakat dan bahkan masyarakat terlibat dalam hal-hal yang kurang produktif.<br />
<br />
Kondisi ini yang membuat sebagian masyarakat menjadi pesimistis tentang Indonesia. Kutipan-kutipan tentang Indonesia menjadi bangsa besar seperti dipatahkan dengan sikap-sikap tidak produktif para elite bangsa. Masyarakat kita selalu dipertontonkan adegan-adegan, komentar-komentar ataupun gesture-gesture yang tidak produktif. Sekali lagi, ini yang membuat masyarakat seolah menjadi ragu tentang kebesaran bangsa ini. Akibatnya, rasa bangga terhadap bangsa memudar. Rasa percaya diri pun terkikis. Bangsa yang dikatakan besar justru masih berkutat dengan persoalan-persoalan yang tidak produktif. Pihak-pihak yang berseteru seolah mempertontonkan kembali masa lalu Indonesia yang diadu domba oleh bangsa lain.<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://cdn.sindonews.net/webp/620/content/2019/02/28/16/1382658/bangga-berani-percaya-diri-1An.webp" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="413" data-original-width="620" height="426" src="https://cdn.sindonews.net/webp/620/content/2019/02/28/16/1382658/bangga-berani-percaya-diri-1An.webp" width="640" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Marinus Wanewa jadi pahlawan Timnas Indonesia U-22 setelah mencetak dua gol ke gawang Kamboja U-22 sekaligus menyegel tempat di semifinal Piala AFF U-22. Foto : Bolalob</td></tr>
</tbody></table>
<br />
Sejarah jelas-jelas mengajarkan kita tentang kebesaran Indonesia atau Nusantara. Dari sisi budaya, Indonesia telah mengenal tulisan-tulisan sejak ribuan tahun yang lalu. Naskah-naskah kuno di Indonesia menunjukkan betapa bangsa ini mempunyai peradaban yang luar biasa. Kemampuan masyarakat Nusantara dalam mengelola bangsa melalui kerajaan-kerajaan telah terbukti. Cara berdagang bangsa ini pun diakui bangsa lain. Potensi alam yang melimpah pun membuat bangsa lain iri. Sejarah telah menjelaskan kepada kita bahwa Indonesia adalah bangsa yang besar. Rasa bangga dan percaya diri mulai dihancurkan oleh kolonialisme dengan mengadu domba dan membumihanguskan catatan-catatan sejarah kita. Selama ratusan tahun, bangsa ini seolah disulap menjadi bangsa inferior. Memasuki era 1900 rasa berani, bangga, dan percaya diri mulai membuncah hingga pada 1945 terlepas dari kolonialisme.<br />
<br />
Sayang, sejarah kelam kolonialisme di Indonesia saat itu tanpa kita sadari ingin dimunculkan lagi. Beda pendapat hingga menjadi permusuhan. Beda pandangan menghilangkan persaudaraan. Beda pilihan malah berpisah. Ini yang terjadi tanpa kita sadari. Semua harus merenung, bahwa bangsa ini besar karena perbedaan. Bahwa kita harus bangga dengan bangsa ini karena perbedaan. Dan, kita semakin percaya diri karena bangsa ini dibangun dengan perbedaan. Maka sudah waktunya bagi kita semua untuk bisa memberikan tontonan yang produktif, agar semua pihak bisa benar-benar merasa berani, bangga, dan percaya diri sebagai Indonesia. (mhd).<br />
<br />
Sumber: https://nasional.sindonews.com/read/1382658/16/bangga-berani-percaya-diri-1551313851Phaul Hegerhttp://www.blogger.com/profile/11849891513433886497noreply@blogger.com0